Minggu, 25 Maret 2012


/PENGARUH INFESTASI Haemonchus contortus PADA SISTEM CO-GRAZING KAMBING-DOMBA DENGAN ANIMAL UNIT EQUIVALENT (AUE) YANG BERBEDA DI AREAL PERKEBUNAN SAWIT TERHADAP PARAMETER KESEHATAN


Oleh :
TEGUH YOGASWARA


Abstrak
Ternak ruminansia kecil (domba dan kambing) memiliki kontribusi yang sangat besar pada petani  peternak di pedesaan. Kendala  pengembangan  ternak kambing dan domba adalah ketidak tersedianya lahan sebagai sumber pakan dan penyakit parasit gastro intestinal. Pemeliharaan ternak dengan sistem grazing di areal  perkebunan sawit merupakan salah satu alternatif untuk mencukupi pakan ternak. Namun demikian ternak yang grazing menjadi lebih mudah terserang  penyakit gastro intestinal terutama Hemonchus contortus. Haemonchus contortus dapat menyebabkan penurunan produksi bahkan kematian. Co-grazing yang didefinisikan sebagai grazing yang melibatkan dua jenis ternak pada lahan dan waktu yang sama dapat menurunkan tingkat infestasi Haemonchus contortus. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh infestasi Haemonchus contortus pada sistem Co-grazing kambing-domba dengan AUE yang berbeda di areal perkebunan sawit terhadap parameter kesehatan. Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok lengkap (berdasarkan berat badan) pola faktorial 2 x 2. Faktor pertama adanya infestasi (infestasi dan tidak  infestasi) dan faktor kedua adalah AUE (1 AUE dan 0,75AUE). Penelitian ini menggunakan 12 ekor kambing dan 12 ekor domba berumur 5-6 bulan terdiri dari 4 perlakuan. Semua ternak grazing dari pukul 08.00-16.00 WIB, ternak perlakuan dimasukkan pada paddock kemudian pindah ke paddock lainnya setiap minggu, selama 8 minggu penelitian. Variabel yang diamati adalah Packet Cell Volume (PCV), hemoglobin, Fecal Egg Count (FEC) dan kondisi fisiologis ternak. Sampel darah dikoleksi setiap dua minggu, darah dimasukkan ke dalam tabung vacutainer yang mengandung EDTA untuk menentukan persentase PCV dan kadar Hb. PCV ditentukan menggunakan metode Microhaematokrit, dan kadar Hb dengan metode Sahli. Sampel feses dikoleksi langsung dari rektum dan di proses untuk estimasi FEC (metode modifikasi MC Master), parameter fisiologis diukur setiap seminggu sekali.

PENDAHULUAN

 Latar Belakang

Ternak ruminansia kecil seperti kambing dan domba mempunyai keuntungan bagi kesejahteraan peternak jika dikaitkan ti tiga aspek keuntungan yaitu ekonomi, manajemen tata kelola, dan biologis (Devendra and Burns, 1983). Menurut Riaz (2007), ternak kambing dan domba merupakan sumber ekonomi yang vital dan sekaligus dapat sebagai ecological and biological nice pada sistem pertanian di negara berkembang. Dengan kata lain beternak kambing dan domba dapat memberikan sumbangan nyata bagi  pembangunan sub-sektor peternakan karena langsung menyentuh masyarakat kecil dengan kemampuan modal yang terbatas. Kendala pengembangan kambing/domba adalah tidak tersedianya lahan sebagai sumber pakan dan penyakit ternak. Permasalahan pakan dapat disiasati dengan sistem integrasi ternak dengan perkebunan sawit, pastura alami di perkebunan sawit merupakan sumber pakan potensial bagi ternak ruminansia (Dwatmadji et al., 2005).
Sistem integrasi ternak merupakan salah satu alternatif keterbatasan lahan untuk grazing di Indonesia. Sistem integrasi ternak di perkebunan sebagai area grazing dapat meningkatkan ekonomi petani, kesehatan dan diversitas lingkungan (Coffey et al., 2004), sebagai weeding control, meningkatkan kesuburan tanah dan produksi perkebunan per hektar (Chee and Faiz, 1990). Namun demikian, dalam penerapan integrasi sawit ternak harus dievaluasi kapasitas tampung (carrying capacity) ternak. Diketahui 57% lahan perkebunan sawit di Bengkulu dimiliki oleh rakyat dengan luas lahan berkisar antara 0,5-2 ha atau rata-rata 0,89 ha (Anonimous, 2007). Oleh karena itu hanya ternak ruminansia kecil kambing atau domba yang paling cocok untuk diintroduksikan di perkebunan sawit skala petani.

4.1 Packet Cell Volume (PCV)

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa infestasi dan spesies secara sendiri-sendiri berpengaruh nyata (P<0,01) terhadap PCV. Dapat dilihat pada Tabel 1 ternak kambing  (1 AUE) yang terinfestasi memiliki rataan PCV terendah sebesar 22,1% dan ternak domba (0,75 AUE) yang tidak terinfestasi memiliki rataan PCV tertinggi sebesar 26,8%. Pada Tabel 1 juga terlihat bahwa tidak terdapat interaksi  antara infestasi dengan AUE, infestasi dengan spesies, AUE dengan spesies dan antara ketiganya.
Tabel 1 memperlihatkan bahwa PCV ternak kambing pada minggu awal sebelum ternak mendapat perlakuan berkisar antara 28-29%, kisaran PCV normal ternak kambing sebesar 22-28% (Schoenian, 2010) atau 22-38% (Bernard et al., 2009). Tabel 1 juga memperlihatkan ternak kambing yang terinfestasi mengalami penurunan persentase PCV hampir 50%  pada minggu ke-6 dari rataan 28,5+0,36% dan 28,6+1,45% menjadi 18,0+5,58% dan 14,3+0,40%. Penurunan PCV pada penelitian ini lebih besar dari penelitian Soekarya (2009), yang melaporkan kambing yang terinfestasi Hemonchus contortus mengalami penurunan PCV sebesar 27% sedangkan Shaik et al. (2006), melaporkan kambing yang terinfestasi Haemonchus contortus mengalami penurunan PCV sebesar 33,3%. Haemonchus contortus dapat menghisap darah sampai 0,05 ml per ekor per hari (Soulsby, 1982); pada infestasi berat, 1/10 volume darah ternak dapat berkurang. Sedangkan menurut Whittier et al. (2003), cacing Haemonchus contortus mampu menghisap darah per harinya sebanyak 0,094 ml. Colin (1999) dan Whittier et al (2003), melaporkan infestasi hiperakut akibat Haemonchus contortus  dapat berdampak pada kematian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada minggu ke-6, ke-7 dan ke-8 terjadi kematian pada ternak kambing terinfestasi masing-masing 1 ekor.

4.2 Hemoglobin

Rataan hemoglobin ternak kambing dan domba selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Pada Tabel 2 terlihat bahwa hasil analisis ragam menunjukkan infestasi dan spesies secara sendiri-sendiri berpengaruh nyata (P<0,01) terhadap hemoglobin. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa ternak domba  (0,75 AUE) yang tidak terinfestasi memiliki rataan hemoglobin tertinggi sebesar 9,2 g/dl  dan ternak kambing (0,75 AUE) yang terinfestasi memiliki rataan hemoglobin terendah sebesar 6,7 g/dl. hemoglobin ternak kambing dan domba pada minggu awal (sebelum ternak  memasuki paddock) berkisar antara 9,8-11 g/dl. Frandson (1996), mengemukakan hemoglobin normal ternak kambing dan domba adalah 11 g/dl dengan demikian hemoglobin semua ternak sebelum perlakuan masih dalam keadaan normal. Namun pada minggu berikutnya hingga penelitian berakhir terjadi penurunan hemoglobin. Penurunan yang sangat drastis terjadi pada ternak kambing yang terinfestasi baik pada luasan 1 AUE dan 0,75 AUE dengan rataan hemoglobin sebesar 5,2+0,47 g/dl dan 4,7+0,14 g/dl (minggu ke-6). Rasool et al. (1995) dan Hayat et al. (1996), melaporkan bahwa kambing dan domba yang terinfestasi cacing Haemonchus contortus ditandai oleh penurunan hemoglobin.
Hasil penelitian Chaudary et al. (2007), yang melaporkan bahwa kisaran hemoglobin ternak domba yang terinfestasi Haemonchus contortus sebesar 4,90+0,24 – 9,53+0,21 g/dl dan kambing 7,22+0,1 – 11,43+0,1 g/dl; Olayemi (2000), melaporkan ternak domba  yang grazing di padang pastura yang terinfestasi Haemonchus contortus memiliki hemoglobin 6,19+1,70 g/dl dan Mir et al. (2007), yang melaporkan bahwa hemoglobin domba yang terinfestasi Haemonchus contortus 11,6+1,6 g/dl.

4.3 Faecal Egg Count (FEC)

Tingkat infestasi tinggi ditemukan pada ternak kambing terinfestasi dengan luasan 1 AUE yaitu 564 telur per gram tinja. Tingkat infestasi pada ternak kambing pada luasan lahan 0,75 AUE adalah sedang (373 telur per gram tinja). Pada ternak kambing terjadi kematian ternak pada minggu ke-6. Sedangkan tingkat infestasi ternak domba pada luasan lahan 0,75 dan 1 AUE adalah sedang (410 dan 290 telur per gram tinja). Berbeda dengan ternak kambing, pada ternak domba yang terinfestasi walaupun memiliki FEC besar (domba 0,75 AUE) tidak menyebabkan kematian ternak. Brightling (1988), mengemukakan tingkat infestasi cacing Haemonchus contortus ada empat tingkatan yaitu : rendah (200 telur per gram tinja), sedang (>200-500 telur per gram tinja), tinggi (>500-2000 telur per gram tinja) dan sangat tinggi (>2000 telur per gram tinja). 

4.4 Respirasi

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa infestasi, AUE, dan spesies secara sendiri-sendiri tidak berbeda  nyata (P>0,05) terhadap respirasi. Pada Tabel 4 juga terlihat bahwa tidak terdapat interaksi  antara infestasi dengan AUE, infestasi dengan spesies, AUE dengan spesies dan antara ketiganya.
Tabel 4 memperlihatkan respirasi ternak baik kambing ataupun domba yang terinfestasi cacing Haemonchus contortus lebih rendah dari pada ternak kambing atau domba kontrol (tidak terinfestasi cacing Haemonchus contortus). Rataan respirasi ternak domba terinfestasi cacing Haemonchus contortus berkisar antara 38,3+21,80 – 46,4+14,40 kali per menit sedangkan rataan respirasi ternak domba yang tidak terinfestasi cacing Haemonchus contortus berkisar antara 46,1+19,42 – 49,0+10,22 kali per menit. Menurut Barkley (2009), kisaran normal respirasi domba adalah 16-34 kali per menit sedangkan menurut Smith (1988) disitasi Feylana (2008), respirasi ternak domba normal 26-54 kali per menit, ini menunjukkan bahwa respirasi domba masih normal.
Rataan respirasi ternak kambing yang terinfestasi cacing Haemonchus contortus berkisar antara 29,2+9,34 – 34,4+15,08 kali per menit sedangkan rataan respirasi ternak kambing yang tidak terinfestasi cacing Haemonchus contortus berkisar antara 36,9+11,15 – 41,7+17,71 kali per menit. Menurut Smith (1988) disitasi Feylana (2008), kisaran normal respirasi kambing adalah 26-54 kali per menit sedangkan menurut Schoenian (2010), respirasi ternak kambing normal 15-30 kali per menit. Kisaran respirasi pada ternak kambing yang terinfestasi cacing Haemonchus contortus dan tidak terinfestasi Haemonchus contortus masih dalam batas normal, namun pada ternak kambing yang terinfestasi cacing Haemonchus contortus memiliki kisaran respirasi yang lebih rendah dari ternak kambing yang tidak terinfestasi Haemonchus contortus. Ini diduga disebabkan karena ternak yang terinfestasi cacing Haemonchus contortus tidak banyak melakukan aktifitas. Salah satu faktor yang mempengaruhi respirasi adalah aktifitas (Wasio, 1994 disitasi Akhmad, 2010 ).
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa infestasi, AUE, dan spesies secara sendiri-sendiri tidak berbeda  nyata (P>0,05) terhadap denyut jantung. Pada Tabel 5 juga terlihat bahwa tidak terdapat interaksi  antara infestasi dengan AUE, infestasi dengan spesies, AUE dengan spesies dan antara ketiganya.
Tabel 5 memperlihatkan bahwa rataan denyut jantung ternak kambing atau domba yang diberi perlakuan terinfestasi cacing Haemonchus contortus memiliki rataan denyut jantung yang sama dengan ternak kambing atau domba yang diberi perlakuan tidak terinfestasi cacing Haemonchus contortus. Kisaran rataan denyut jantung pada ternak kambing sebesar 93,7+18,88- 116,5+21,94 kali per menit. Sedangkan kisaran rataan denyut jantung pada ternak domba sebesar 96,7+13,43 – 106,7+17,25 kali per menit. Kisaran normal denyut jantung pada kambing  dan  domba adalah 70 sampai 80 kali per menit (Barkley, 2009; Ditsch and Andries, 2007 dan Schoenian, 2010), sedangkan menurut Smith (1988) disitasi Feylana (2008) adalah 70-135 kali per menit. Hasil penelitian denyut jantung yang diperoleh masih dalam batas normal. Ganong (1981) disitasi oleh Feylana (2008), menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi denyut jantung adalah temperartur lingkungan, pakan, aktifitas latihan otot, dan tidur.

4.6 Temperatur Rektal

Rataan temperatur rektal ternak kambing dan domba selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 6. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa infestasi, AUE, dan spesies secara sendiri-sendiri tidak berbeda  nyata (P>0,05) terhadap termperatur rektal. Pada Tabel 6 juga terlihat bahwa tidak terdapat interaksi  antara infestasi dengan AUE, infestasi dengan spesies, AUE dengan spesies dan antara ketiganya. temperatur rektal yang sama dengan ternak kambing atau domba yang tidak terinfestasi cacing Haemonchus contortus, yaitu berkisar antara 38,50+0,52°C sampai dengan 38,96+0,39°C. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan temperatur rektal pada ternak kambing dan domba pada kondisi normal yaitu 39°C (Barkley, 2009). Temperatur rektal pada ternak dipengaruhi beberapa faktor yaitu temperatur lingkungan, aktifitas, pakan, minuman, dan produksi panas oleh tubuh, yang tidak langsung tergantung pada pakan yang diperolehnya dan banyaknya persediaan makanan dalam saluran pencernaan (Duke’s, 1995 disitasi oleh Feylana 2008).



Ucapan Terima Kasih
Saya mengucapkan terimakasih kepada orang yang melakukan penelitian ini, karena penelitian ini bisa memotifasi saya sehingga saya membuatnya dalam bentuk karya ilmiah.


DAFTAR PUSTAKA


Abaye, A.O., V.G. Allen, and J.P. Fontenot. 1995. Influence of Grazing Cattle and Sheep Together and Separately on Animal Performance and Forage Quality. Journal Animal Science. 72: 1013-1022.

Akhmad. 2010. Ternak Potong Kerja dan Kesayangan. http://multiply.com/user/join?connet=anakkandang  (21 April 2010)

Allen, V.G. and M. Collins. 2003. Grazing Manajemen Systems. Forages: an Introduction to Glassland Agriculture. In: R.F. Barnes, C. J. Nelson, M. Collins, and K. J. Moore. (eds). 6 th ed., p. 473-501. Iowa State Press, Ames.

Animut, G. and A.L. Goetsh. 2008. Co-grazing of Sheep and Goats; Benefit and Constrains Small Ruminant Research 77: 127-145.

Anonimous. 2007. Tentang Pembaruan Agrarian dan Pembangunan Pedesaan. http://www.spi.or.id/?=149 (23 November 2009).

Anonimous. 2009. Penetapan Nilai Hematokrit. http://www.slideshare.net/.../ Penetapan-Nilai-Hematokrit (2 Mei 2010)

Baker, R.L. 1998. Genetic Resistance to Endoparasitism in Sheep and Goats. A Review of Genetic Resistance to Gastrointestinal Nematode Parasities in Sheep and Goats in the Tropics and Evidence for Resistance in Some Sheep and Goat Breed in Sub-Humid Coastal Kenya. Animal Genetic Resources Information, 24: 13-30.

Barkley, M. 2009. The Normal Animal. Penn State Cooperative Extention  Bedford Country.http://www.bedford.extension.psu.edu/agriculture/.../Normal%20Goat.htm (5 April 2010)

Bekele, T., Woldeab T., Lahlou-Kassi A. and J. Sherington. 1992. Factor Affecting Morbidity and Mortality on-Farm an on Station in the Ethiopian Highland Sheep. Acta Tropica 52: 99-109.

Bennett, D., F.H.W. Morley, K.W. Clarke, and M.L. Dudzinski. 1970. The Effect of Grazing Cattle and Sheep Together. Australia Journal Experimental. 10: 696-702.

Beriajaya, S.E., Estuningsih, Darmono, M.R. Knox, D.R. Stoltz and A.J. Wilson. 1995. The Use of Wormolas in Controlling Gastrointestinal Nematode Infection in Sheep Under Traditional Grazing Management in Indonesia. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 1 (1): 49-55.

Bernard, G., M.M. Worku and M. Ahmedna. 2009. The Effect of Diatomaceous Earth on Parasite Infected Goats. Bulletin of The Georgian National Academy of Sciences 3:26-30

Blakely, J dan D.H. Bade. 1994. Ilmu Peternakan. Edisi Keempat. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Bouix, J., J. Krupinski, R. Rzepecki, B. Nowosad, I. Skrzyala, M. Roborzynski, W. Fudalewicz-NieMczyk, M. Skalska, A. Malczewski, and L. Gruner. 1998. 55 Genetic Resistance to Gastrointestinal Nematode Paraites in Polish Long-Wool Sheep. International Journal for Parasitology 28: 1797-1804.

Browning, M.L. 2006. Haemonchus contortus (Barber Pole Worm) Infestation in Goats. Extension Animal Scientist, Alabama A&M University. http:// www.aces.edu/pubs/docs/U/UNP.../UNP-0078.pdf - Amerika Serikat   ( 15 April 2010)

Burke, J.M. and J.E. Miller. 2004. Control of Haemonchus contortus in Goats with a Sustained-Release Multi-Trace Element/Vitamin Ruminal Bolus Containing Copper. Veterinary Parasitology 141 (2006) 132-137.

Chaudary, F.R., M.F. Khan and M. Qayum. 2007. Prevalence of Haemoncus contortus in Naturally Infected Small Ruminant Grazing in The Potohar Area of Pakistan. Pakistan Journal Veteriner. 27 (2) : 73-79.

Chee Y.K. and A. Faiz. 1990. Forage Resources in Malaysia Rubber Estates. In: Forages For Plantation Crops. HM Shelton and WW Stur (eds), pp. 32-35. Proceedings of A Workshop, Sanur Beach, Bali, Indonesia. 27-29 June 1990. ACIAR Proceedings no. 32.

Coffey L., M. Hale and A. Wells. 2004. Goats: Sustainable Production Overview. Livestock Production Guide. hhtp://attar.ncat.org/attar-pub/goatoverview. (3 Februari 2010)

Colin, J. 1999. Parasites and Parasitic Disease of Domestic Animals. University of Pensylvania. http:// www.runetwork.de/html/en/articles/document.html?Action...id=11605  (28 Juni 2010)

Devendra, C and M. Burns. 1983. Goat and Sheep Produktion in The Tropics. Longman Group Limited, London.

Ditsch, D. and K. Andries. 2007. Goat Production Basics in Kentucky. Cooperative Extension Service. University of Kentucky-College of Agriculture.http://www.org./goat-production-kentucy/html (6 Maret 2010)

Duke’s. 1985. Physiology of Domestic Animal Comstock Publishing : New York University Collage, Camel.

Dwatmadji, T. Suteky dan E. Soetrisno. 2005. Multi Peran Sapi Bali Pada System Agro-Farming Kelapa Sawit (Elaeis quineensis). Laporan Hasil Penelitian Hibah Bersaing.

Ensminger, M.E. 2002. Sheep and Goat Science (Animal Agriculture Series).6 th Edition. Interstate Publishers, Inc., Danville, Illinois.

Feylana. 2008. Status Faali. http://www.feylana.wordpress.com/ (3 Juni 2010)

Frandson, R.D. 1996. Anatomi dan Fisiologis Ternak, Ed ke-4. Diterjemahkan oleh Ir. B. Srigandono, MSc dan Drs. Koen Praseno, S.U. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Fritsche, T., Kaufmann and K. Pfister. 1993. Parasite Spectrum and Seasonal Epidemiology of Gastrointestinal Nematodes of Small Ruminants in Gambia. Veterinary Parasitology. 49: 271-283.
Ganong. 1981. Receive of Legical Physiology.Large Medical Publishing,Calivornia.
Hayat, C.S., S.M. Hussain, Z. Iqbal, B. Hayat and M. Akhtar, (1996): Effect of Parasitic Nematodes on Haematology and Productivity of Sheep. Pakistan Veterinary Journal. 16: 81-83.

Hepworth, K., M. Neary, T. Hutchens. 2006. Managing Internal Parasitism in Sheep and Goat. Animal Sciences. University of Kentucky, AS. http://www.extension.org/mediawiki/.../KY_Production_Basics.pdf - Amerika Serikat   (24 Maret 2010)

Iqbal M., M. Lateef, M.N. Khan, G. Muhammad and A. Jabbar. 2005. Temporal Density of Trichostrongylid Larvae on  a Communal Lahan in a Sub-Tropical Region of Pakistan. Pakistan Veterinary Journal. 25: 2

Jacquiet, P., F. Cabaret, M. Colas, L. Dia, D. Cheikh and A. Thiam. 1992. Helminthes of Sheep and Goat in Desert Areas of Southwest Mauritania (Trarza). Veterinary. Commun. 16: 437-444.

Jaya, A. 2008. Pengaruh Pemberian Minyak Ikan Lemuru (Sardinella longiceps) 6% dan Niasin 800 ppm Terhadap Kolesterol, LDL (Low Density Lipoprotein), HDL (High Density Lipoprotein) Serum Darah Kambing dan Domba. Skripsi Jurusan Peternakan. Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Bengkulu.

Jones, K. G. 2004. Trends in the U. S. Sheep Indusry. AIB-787. Econ. Res. Serv. USDA. 13.http://www.ideas.repec.org/p/ags/uersab/33681.html (19 Juni 2010)


Kaplan, R.  M. 2006. Update on Parasite Control in Small Ruminant Addressing The Challenges Posed by Multiple-Drug Resistant Worms. Proceeding of The American Association of Bovine Practitioners, Saint Paul, MN, September 21-23, 2006.

Liemachmad. 2009. Proses Analisis Kesehatan. http://liemachmad.wordpress.com/- (24 Oktober 2010)

Nowosat, B., L. Gruner, M. Skalska, W. Fudalewicz-NieMczyk, K. Moelenda and S. Kornas. 2003. Genetic Difference in Natural Resistance to Gastrointestinal Nematodes in Polish Long-Wool, Blackface and Wiesses Alpenschaf Sheep. Acta Parasitological 48: 131-134.

Novalina. 2009. Mineral Mikro. http://www.novalinahasugian.blogspot.com/ ( 7 November 2010)

MAFF [Ministry of Agriculture Ficheries and Food]. 1986. Manual of Veterinari Parasitology Laboratory Techniques. 3rd ed. Ministry of Agriculture Ficheries and Food – UK. HerMajesty’s Stationary offi ce London.

Marley, C. L., M.D. Fraser, D. A. Davies, M.E. Rees, J.E. Vale and A.B. Forbes. 2006. The Effect of Mixed or Sequential Grazing of Cattle and Sheep on Faecal Egg Count and Growth Rates of Weaned Lambs When Treated with Anthelmintics. Veterinary. Parasitology. 142:134-141.

Medicastore. 2010. Biologi Darah. http://www. id.shvoong.com/.../1998456-biologi-darah -sumber-dan/ (4 Agustus 2010)

Miller, J.E and D.W. Horohov. 2006. Immunological Aspects of Nematodes Parasite Control in Sheep. Journal Animal Science. 84: E128-E132.

Mir, R.A., M.Z. Chishti, M.A. Zarger, Hidayatullah Tak and S.A. Gani. 2007. Clinicopathological Changes in Sheep Experimentally Infected with Haemonchus contortus. World Journal of Agricultural Sciences 3 (5) : 562-566.

Moore, D.A., T.H.Terril, B. Kouakou, S.A. Shaik, J.A. Mojidis, J.E. Miller, M. Vanguru, G. Kannan and J.M. Burke. 2008. The Effect of Feeding Sericea Lespedeza Hay on Growth Rate of Goats Naturally Infected With Gastroitestinal Nematodes. Journal Animal Science. 86: 2328-2337.

Olayemi, F.O., Farotimi J.O. and O.A. Fagbohun. 2000. Haematologi of The West African Dwarf Sheep Under Two Different Management Systems in Nigeria. Africa. Journal. Biomed 3; 197-198.

Papachristou, F.A.E. Papadopoulos, N. Panousis, N. Roubis, H. Karatzias, S.C. Kyriakis, J. Oskovski and Y. Theodoridis. 2008. Evaluation of Control Schemes Using Protein Suplementation and Antihelmitics Against Gastrointestinal Nematodes of Dairy Ewes. Acta Veterinaria. 58 (4): 333-334.

Rachmat, R.A., B.D. Ranf, dan M.Z. Kanro. 1998. Kontribusi Getah Papaya dalam Pengendalian Penyakit Cacing pada Kambing. Prosiding Seminar Holtikultura. Kerjasama Dengan Instalasi Penelitian dan Pengkajian Pertanian Jeneponto, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kendari. Hlm. 432-434.

Rasool, G., Z. Iqbal, M. Nisar Khan and B. Hayat. 1995. Haematological Disturbance Associated with Haemonchosis in Sheep. Pakistan Veterinary Journal. 15(4): 159-162.

Riaz, F.C.H. 2007. Study on The Biology of Haemoncus Contortus, in The Small Ruminants Grazing in Potohar Region, Pakistan. Thesis. Department of Zoology/University of Arid Agriculture Rawalpindi, Rawalpindi.

Schoenian, S. 2010. Integrated Parasite Management in Small Ruminants. http:// www.pasafarming.org/our.../opportunities-for-improvement -  ( 6 Maret 2010)

Shaik, S.A, T.H. Terrill, J.E. Miller and J.A. Mosjidis. 2006. Sericea lespedeza hay as a natural deworming agent against gastrointestinal nematode infection in goats. Veterinary parasitologi 139: 150-157.

Soekarya, S. 2009. The effects of Cassava Foliage (Manihot esculenta) on Gastro Intestinal Parasites of Small Ruminant in Cambodia. Disertation. Swedish University of Agricultural Scienses, Swedia.

Soulsby, E.J.L. 1982. Helminths, Protozoa and Antropods of Domesticated Animal. 7 th. Edition. Bailliere Tindall, London.

Steel, R.G.D., dan J.H. Torrie. 1989. Prosedur dan Prinsip-prinsip Statistik. PT. Gramedia. Jakarta.

Sugeng, B.Y. 1991. Beternak Domba. Penebar Swadaya. Jakarta.

Webb, D.M. 2008. Assessing The Potential of Mixed Grazing Goats With Beef Cattle to Improve Animal Performance and Increase The Utilization or Marginal Lahanlands in The Applachian Coal Region. Thesis. Master of Science in Crop and Soil Environmental Science. Blacksburg, Virginia.

Whittier, W.D., A. M. Zajac, and S.M. Umberger. 2003. Control of Internal Parasities in Sheep. Blackburg, VA, Virginia Tech.

Williamson, G., and W.J.A. Payne.1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Edisi ketiga. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.

Wodzicka-Tomaszewska M., I.M. Mastika, A. Djajanegara, S. Gardiner dan T.R. Wiradarya. 1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Sebelas Maret University Press, Surakarta.





















Tidak ada komentar:

Posting Komentar