Selasa, 10 April 2012

bahan mata kuliah bahan makanan ternak dan formulasi ransum

PENGENALAN BEBERAPA BAHAN PAKAN :
SUMBER ENERGI
Oleh: Hidayat
PENDAHULUAN
Meningkatnya kebutuhan pakan ternak yang dibarengi dengan kenaikan harga
pakan mendorong kita untuk mencari alternatif penggantinya. Namun demikian, usaha
untuk itu tidaklah mudah karena menuntut pengetahuan, pengalaman, dan ketrampilan.
Hand out ini mencoba memberikan pengetahuan untuk beberapa pakan konvensional
maupun alternatif, bagaimana bahan pakan tersebut dapat menjadi pakan yang
diharapkan sesuai dengan kebutuhan ternak, baik bentuk dan kandungan nutrisinya.
Namun demikian, sangat disarankan untuk melengkapi informasi tentang bahan pakan
dengan buku-buku atau artikel yang menunjang.
PENGENALAN BEBERAPA BAHAN PAKAN
Jagung.
Jagung (Zea mays) merupakan bahan pakan sumber energi yang paling umum
digunakan untuk pakan unggas, terutama digunakan dalam industri pakan temak. Di
Indonesia dikenal beberapa jenis jagung, yaitu jagung kuning, jagung putih, dan jagung
merah. Jenis yang paling banyak digunakan adalah jagung kuning karena mengandung
karoten provitamin A yang cukup tinggi. Hal ini dikarenakan jagung sangat palatable dan
sangat besar kandungan energinya. Nilai energi yang dapat dimetabolis (metabolisable
energy, ME) yang terkandung dalam jagung digunakan sebagai standard terhadap bahan
pakan sumber energi lain. Di Amerika utara, industri pakan telah diuntungkan dengan
terjadinya surplus ketersediaan jagung sebagai akibat mekanisiasi, penerapan genetik, dan
teknik agronomis yang diterapkan untuk meningkatkan produktifitas. Namun demikian,
hasil jagung per hektar di negara Asia rendah dan produksinya belum pernah mencukupi
kebutuhan sejalan dengan meningkatnya populasi manusia. Barangkali hanya Thailand di
antara negara-negara Asia yang kemampuan produksinya melebihi dari kebutuhan lokal.
Kandungan nutrisi jagung giling (dasar bahan kering) adalah 9,0% PK, 4,0% LK, 2,5 %
SK, 1,5% Abu, dan 83% BETN, 0,02% Ca, dan 0,25% P, serta 3,45 kkal/g. Jagung
kuning mempunyai kelebihan adanya xanthophil yang memberikan warna kuning pada
produk-produk ternak. Di Indonesia, jagung mempunyai kandungan protein beragam,
dari 8%-13%, tetapi kandungan serat kasarnya rendah (3,2%) dan kandungan energi
metabolismenya tinggi (3.130 kkal/kg). Oleh karena itu, jagung merupakan sumber
energi yang baik. Kandungan serat kasamya yang rendah memungkinkan jagung
digunakan dalam tingkat yang lebih tinggi. Jagung juga mempunyai kandungan asam
linoleat yang baik dan juga sumber asam lemak esensial yang baik.
Pengenalan Beberapa Bahan Pakan 2
Bekatul dan Dedak padi.
Produk sampingan dari penggilingan padi (Oryza sativa) adalah dedak Sebenarnya, pada
proses penggilingan padi, hasil yang didapatkan selain beras, adalah bekatul padi
(sebanyak 2-3%), dedak padi (6-8%), dan sekam (20%). Dedak padi adalah by-product
utama yang didapatkan dari proses penggilingan padi. Bekatul, yang dihasilkan dari
lapisan bagian dalam biji, lebih banyak penggunaannya dibandingkan dengan dedak. Hal
ini karena kadar serat yang dikandungnya lebih rendah dan kandungan ME yang lebih
tinggi. Namun demikian, ketersediaan bekatul sangat sedikit karena tidak semua
penggilingan padi mengoperasikan mesin penggiling multiple-stage yang memisahkan
bekatul dari dedak. Nutrien yang terdapat dalam bekatul adalah protein kasar 9%-12%,
pati 15%-35%, lemak 8%-12%, serta serat kasar 8%-11 %. Bekatul memiliki kandungan
serat kasar yang lebih tinggi daripada jagung atau sumber energi yang lain. Oleh karena
itu, bekatul diberikan dalam jumlah yang terbatas, tergantung pada jenis temaknya. Untuk
menghindari serangga dan bau tengik sehingga kualitas bekatul tidak berkurang,
sebaiknya bekatul dijemur terlebih dahulu selama 3-4 hari. Penjemuran dilakukan
sebelum bekatul disimpan atau digunakan sebagai bahan baku pakan. Bekatul merupakan
komoditi yang cukup terbatas ketersediaannya karena tergantung pada musim panen padi
serta sifatnya yang mudah rusak serta menjadi kebutuhan utama bagi petemak yang
membuat pakan campuran sendiri. Hal ini menyebabkan tingginya harga jual bekatul di
pasaran. Hal yang demikian dimanfaatkan oleh para penjual maupun pengepul bekatul
untuk memanipulasi isi katul tersebut agar diperoleh keuntungan yang lebih banyak lagi.
Ada beberapa bahan yang sering digunakan untuk memanipulasi jagung seperti sekam
giling, limestone, zeolite, dan limbah tepung tapioka (onggok).
Komposisi kimia dedak padi sangat bervariasi. Variasi yang ada semata-mata
disebabkan kontaminasi sekam yang terikut, dan ini biasanya disebabkan oleh jenis mesin
penggiling. Dedak kualitas bagus mengandung sekitar 13% PK, 13% lemak, dan 13%
serat dan kaya sumber vitamin B dan trace mineral. Nilai ME dedak padi, selain
mengandung serat, relatif tinggi. Sementara itu, kandungan lemak yang tinggi harus
diperhitungkan, dimana hal ini dapat menyebabkan masalah ransiditas (ketengikan)
selama dalam penyimpanan di climat tropis. Dedak padi mengandung enzim lipolytic
yang menjadi aktif ketika dedak dipisahkan dari beras dan kandungan asam lemak bebas
meningkat dengan cepat.
Tabel 1. Komposisi kimia dedak padi yang didapat dari tipe penggilingan padi yang
berbeda yang biasa digunakan di Asia (%, dasar bahan kering)
Tipe penggiling
Modern Semi-modern Traditional
Protein Kasar 10,0 9,0-11,0 7,3-7,5
Serat Kasar 12,6-12,9 15,4-15,9 29,3-30,9
Lemak 23,4-31,6 19,2-19,7 6,6-8,6
Abu 12,8-14,3 14,1-15,0 15,5-20,5
Dedak padi tersedia banyak di Indonesia. Harganya murah dan kandungan unsur
nutrisinya cukup baik, tetapi kandungan serat kasamya agak tinggi. Kandungan serat
Hidayat 3
kasar inilah yang menyebabkan pemakaian dedak padi menjadi sangat terbatas, yaitu
pada sapi dibatasi sampai 40%, pada babi 30%-40%, dan pada unggas 25%. Dedak murni
agak sulit dicari karena sekarang banyak terjadi pemalsuan atau pencampuran dedak
dengan gilingan kulit gabah dan gilingan jerami. Akibatnya kandungan serat kasarnya
menjadi tinggi dan berdampak buruk bagi temak terutama ayam. Kandungan protein
dedak padi adalah 12,5%, kandungan serat kasar 10%, energi metabolismenya 2.730
kkal/kg (namun sangat diepengaruhi oleh proses penggilingan dan kontaminan),
sedangkan mineral Ca dan P dalam bahan pakan ini adalah 0,06% dan 1,55
Barley
Barley (Hordeum vulgare) menduduki ranking ke 4 di dunia dalam hal produksinya
untuk bijian. Yang mengusahakan terutama negara-negara eropa dan beberapa negara
Asia seperti Korea, China, India, Iran, dan Jepang. Walupun kandungan proteinnya mirip
dengan jagung dan asam aminonya lebih baik, namun nilai penggunaannya sebagai pakan
sangat kurang. Hal ini disebabkan karena kandungan zat gizinya yang tidak konsisten dan
menyebabkan feses yang basah dan lengket.Untuk mendapatkan hasil optimum pada
produksi unggas, penggunaan barley sebaiknya tidak melebihi 20% pada broiler dan anak
ayam, sementara untuk ayam petelur dapat digunakan sampai 70%. Karena kulit biji yang
keras, sebaiknya penggunaan barley dengan penggilingan.
Sorghum (Milo)
Sorghum (Sorghum vulgare) merupakan tanaman serealia ketiga paling banyak ditanama
di Asia, setelah padi dan jagung. Tanaman ini sangat populer di daerah-daerah yang
kering dan sedikit curah hujannya. Komposisi nutrisi sorghum dapat disejajarkan dengan
jagung, namun kandungan proteinnya sedikit lebih tinggi, biasanya berkisar antara 8-
16%, hal ini sangat dipengaruhi oleh varietas, lokasi penanaman, dan praktek
agronomisnya. Anti nutrisi yang ada adalah adanya tannin yang melapisi bagian luar biji
sorghum. Kandungan tannin berbeda-beda yang sangat dipengaruhi oleh varietas tanaman
sorghum. Kadungan tannin dapat diduga dengan melihat warna biji sorghum, warna yang
gelap menunjukkan kandungan yang lebih tingg dibandingkan dengan yang berwarna
terang. Kandungan ME untuk sorghum yang kandungan tanninnya tinggi, kira-kira 20-
30% lebih rendah dibandingkan sorgum yang kandungan tanninnya rendah. Penggunaan
sorghum sebagai pakan unggas dapat digunakan sebagai pengganti jagung secara
keseluruhan apabila kandungan tanninnya rendah, namun apabila kandungan tanninnya
tinggi biji sorghum hanya bisa digunakan 50% untuk menggantikan jagung (kecuali ada
perlakuan kimia untuk mengurangi kandungan tannin). Dalam praktek pengggunaannya,
sorghum harus digiling kasar.
Tepung Ubi Kayu (gaplek)
Ubi kayu (Manihot esculenta) merupakan bahan pakan sumber energi non-tradisional.
Tanaman ini menjdai andalan di negara-negara tropis, dan merupakan tanaman yang
paling produktif dalam hal produksi energy persatuan luas lahan. Indonesia, Thailand,
India, dan Vietnam merupakan negara-negara penghasil ubi kayu terbesar di Asia,
sementara Thailand merupakan negara exportir terbesar produk ini. Negara-negara yang
tergabung dalam MEE, menggunakan ubi kayu untuk sebagai bahan pakan sekaligus
Pengenalan Beberapa Bahan Pakan 4
untuk pembuatan pellet dengan level antara 5-40%, tergantung jenis dan type ternak dan
negara yang menggunakannnya.
Ubi kayu kering (gaplek) merupakan bahan pakan yang rendah kandungan serat kasarnya
namun tinggi kandungan patinya. Pati ubi kayu dapat dicerna baik oleh unggas, dengan
kecernaannya sekitar 99%. Nilai energi metabolisnya dilaporkan sangat tinggi, sekitar 95-
106 %, dibandingkan dengan energi metabolis yang ada pada jagung. Gaplek adalah
umbi ubi kayu yang telah dikupas kulitnya dan dikeringkan dengan menggunakan sinar
matahari. Tujuan pengeringan ubi kayu ini adalah agar dapat disimpan dalam waktu yang
cukup lama, mudah penanganannya, dan untuk mengurangi atau menghilangkan
kandungan glukosida (linamarin) yang dapat menghasilkan HCN karena adanya aktivitas
enzim tertentu. Gaplek banyak diproduksi di daerah Gunung Kidul, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Produksi gaplek di Gunung Kidul setiap tahun mencapai 250.000 ton,
sedangkan produksi ubi kayu sekitar 700.000 ton. Sekitar 80 ton dari jumlah tersebut
telah memenuhi pasar ekspor.
Gaplek banyak dibuat menjadi tepung gaplek. Tepung gaplek banyak mengandung pati
dan pada saat pengukusan, pati tersebut diubah menjadi zat perekat oleh uap panas.
Dengan demikian, penggunaannya sangat membantu sekali dalam pembuatan pakan
bentuk pelet sebab pelet yang dihasilkan akan menjadi lebih padat, keras, dan tidak
mudah pecah. Protein yang terkandung dalam gaplek sebesar 1,7%, serat kasar 1,6%,
energi metabolisme 2.600 kkal/kg, serta mengandung 0,12% Ca dan 0,04% P.
Kendala yang paling utama penggunaan ubi kayu sebagai bahan pakan adalah kandungan
cyanogenic glucosides yang melepaskan asam cyanida (HCN) apabila dihidrolisa oleh
glucisidase yang didapat dari dalam jaringan akar itu sendiri. Kisaran normal kandunga
HCN dalam ubi kayu segar berkisar antara 15-400 mg/kg, yang mana kisaran tersebut
dipengaruhi oleh cultivar ubi kayu. Untuk ubi kayu kultivar pahit kandungan HCN bisa
sampai 275-490 mg/kg, sementara untuk kultivar manis berkisar antara 35-130 mg/kg.
Kandungan HCN diketahui 10 kali lebih tinggi pada kulit ubi dibandingkan ubi segarnya,
maka pelepasan kulit ubi merupakan cara yang paling mudah untuk mengurangi
kandungan HCN. Chopping yang diikuti dengan pengeringan ubi ubi kayu dapat
menekan kandungan HCN sampai 85%.
Penggunaan tepung ubi kayu untuk pakan unggas dapat digunakan sampai batas 10-20%.
Beberapa faktor yang membatasi penggunaan tepung ubi kayu selain kandungan HCN
adalah kandungan protein yang rendah (tidak lebih dari 3%), feed intake menjadi rendah
karena bersifat bulky dan berdebu (tepung) dan tidak mengandung pigmen. Untuk dapat
digunaka sebagai pakan seperti halnya jagung (menggantikannya), maka perlu langkahlangkah
yaitu: suplementasi methionin, menyeimbangkan kandungan protein,
pembentukan pellet, dan penamabahan pigment.
Suplementasi Methionin: Kebutuhan untuk melakukan suplementasi methionin pada diet
berbasis tepung ubi kayu karena methionin berfungsi sebagai sumber sulphur yang siap
guna detoksifikasi cyanida dan untuk menutupi defisiensi asam amino yang mengandung
sulphur itu sendiri.
Hidayat 5
Menyeimbangkan kandungan protein: Diet berbasis tepung ubi kayu harus
diseimbangkan dengan sumber protein berkualitas baik. Dalam kontek ini, protein asal
hewan, khususnya tepung ikan, merupakan sumber protein yang superior dibandingkan
dengan sumber protein asal tanaman. Sehingga level penggunaan tepung ubi kayu dalam
diet unggas benar-benar sangat bergantung terhadap suplementasi protein. Protein asal
hewan tidak hanya bagus karena mengandung methionin, tapi juga mengandung vitamin
B12 yang berfungsi sebagai jalur independent dalam detoksifikasi cyanida.
Pembentukan pellet: pembentukan pellet akan mengurangi bulkiness suatu diet berbasis
ubi kayu sekitar sepertiga, mengurangi masalah debu, dan meyakinkan feed intake yang
optimum. Apabila tidak mungkin membentuk pellet karena peralatan yang tidak tersedia,
penambahan mollases atau minyak dapat meningkatkan palabilitas dan intake.
Pigment: Jagung merupakan sumber β-carotene dan cryptoxanthine yang sangat berguna
untuk pewarnaan kulit broiler dan kuning telur. Bila ubi kayu digunakan untuk
menggantikan jagung sebagai sumber energi, warna produk unggas biasanya sering tidak
menarik. Masalah ini dapat dikoreksi dengan pemberian/penambahan carotenoid sintetis
atau menggunakan tepung daun tanaman tropis, misalnya tepung daun ubi kayu, tepung
daun turi atau lamtoro.
Onggok
Onggok merupakan hasil sisa pembuatan pati ketela pohon. Komposisi kimia onggok
tergantung pada proses pengolahannya, pada musim hujan atau kemarau, penjemuran
memakai alas atau tidak. Protein dalam onggok sebesar 2,2% sedangkan serat kasarnya
sebesar 2%. Onggok biasanya diguanakan sebagai sumber energi untuk ruminansia.
Tepung daun ubi kayu.
Pemberian tepung daun ubi kayu dalam penyusunan pakan unggas terbatas hanya sampai
5% karena adanya asam prusid dan sianida yang merupakan senyawa yang sangat
beracun. Sianida dalam daun ubi kayu muda terdapat dalam bentuk glikosida sianogenik
dan penguraian senyawa ini akan menghasilkan sianida. Proses penguraiannya
memerlukan bantuan enzim dan enzim ini hanya dihasilkan apabila selnya pecah.
Pemecahan sel ini dapat terjadi bila daun ubi kayu terpotong, sobek, atau dipanaskan.
Senyawa sianida mudah larut dalam air dan mudah menguap. Oleh karena itu, daun ubi
kayu yang akan dijadikan pakan unggas harus dipotong-potong. Proses ini bertujuan
untuk memecahkan sel glikosida sianogenik menjadi sianida di luartubuh. Selanjutnya,
potongan daun ubi kayu dicuci dan dijemur sampai kering. Dengan demikian, senyawa
sianida akan larut dalam air dan menguap selama penjemuran. Seandainya sianida dalam
bentuk senyawa glikosida sianogenik (yang belum terurai) dimakan dan masuk ke dalam
perut, di dalam perut senyawa tadi akan bereaksi dengan asam hidroklorik. Reaksi ini
akan memecahkan senyawa sianida dan akan mengakibatkan keracunan apabila terdapat
dalam jumlah banyak. Oleh karena itu, penggunaan tepung daun ubi kayu sebagai
campuran pakan unggas harus dibatasi. Penggunaan tepung daun ubi kayu dapat
digunakan untuk memberi pewarnaan yolk (sumber karotenoid)
Tepung Umbi jalar
Umbi jalar (Ipomea batatas) merupakan produk negara-negara Asia (90% dari produk
dunia). Umbi jalar digunakan sebagai pakan sumber energi, kandungan energinya mirip
Pengenalan Beberapa Bahan Pakan 6
dengan jagung. Namun kandungan proteinnya rendah sekali. Anti nutrisi terdapat pada
umbi segar, yaitu anti tryptic, namun dapat dihilangkan dengan pengeringan. Perebusan
sebelum pengeringan akan memberikan hasil yang baik karena dapat meningkatkan nilai
pakan. Karena berbentuk tepung, penggunaannya tidak dapat menggantikan jagung
secara keseluruhan. Penggunaannya direkomendasikan samapai batas 24-30% untuk
mendapatkan hasil yang baik. Apabila suplementasi protein dan penghilangan kulit umbi
dilakukan, maka penggunaan sampai batas 50% dapat dilakukan.
Tepung Sukun
Sukun (Artocarpus altilis) merupakan tanamana yang tersebar di daratan Asia, dan
merupakan tanaman pangan yang penting di Polynesia. Produk tanaman ini dimanfaatkan
seperti umbi jalar ketimbang sebagai buah. Buah sukun menjadi tidak termanfaatkan
disuatu daerah pada saat tersedia dalam jumlah yang banyak dan tidak terserap (terutama
pada saat musim buah). Pemanfaatan buah sukun untuk pakan unggas telah dicoba, dan
sampai saat ini buah sukun diketahui tidak mengandung anti-growth factor dan dapat
digunakan untuk menggantikan jagung sampai batas 25% dalam campuran pakan.
Tepung biji nangka
Nangka (Artocarpus heterophyllus) merupakan buah yang populer di Asia. Industri buah
nangka (pengalengan) biasanya menyisakan biji nangka yang tidak dimanfaatkan. Dalam
satu buah nangka utuh, kira-kira 10-15% nya merupakan berat biji. Biji nangka segar
mengandung haemagglutinin. Pemberian biji nagka yang tidak direbus menyebabkan
kematian yang tinggi pada anak ayam. Dengan perebusan akan merusak aktivitas
haemagglutinin secara keseluruhan dan pemberian tepung biji nangka rebus pada ayam
dapat digunaka sampai pada batas 30% dari total diet.
Tepung Sagu
Pohon sagu (Metroxylon sagu) merupakan tumbuhan native Asia Tenggara dan tumbuh
liar di Indonesia, Malaysia, dan Papua New Guinea. Pati sagu didapat dari batang pohon
sagu yang telah berumur 12-15 tahun dan dikeringkan untuk menghasilkan tepung sagu
komersial. Bagian sagu yang tidak dimanfaatkan untuk konsumsi manusia pada proses
pembuatan tepung dapat digunakan untuk pakan ternak. Sebagai sumber energi, tepung
sagu dinilai setara dengan tepung ubi kayu. Penggunaan sampai batas 25% pada unggas
tidak menimbulkan dampak yang tidak baik. Karena bentuknya yang bulky dan
kecernaan yang relatif rendah, penggunaan level tinggi tidak direkomendasikan.
Molasses tebu
Molasses atau tetes merupakan by-product industri gula tebu (Saccharum officinarum)
dan merupakan penggati biji-bijian yang penting. Molasses mengandung karbohidrat
yang tinggi dan sangat palatable. Kandungan gula dalam tetes mencapai 77%, serta
mengandung protein kasar sebesar 3,5%. Tetes tebu berwarna cokelat kemerahan, kalau
dicicipi akan terasa manis. Oleh karenanya, molases banyak digunakan pada pakan sapi
untuk menambah nafsu makan temak. Kandungan ME kira-kira 70% dari jagung. Ada
dua type molasses, yaitu final atau blackstrap dan high-test. Final molasses mempunyai
kandungan sedikit gula dan tinggi kandungan abu (terutama kalium). Sementara high-test
molasses, baik berbentuk cairan maupun padatan digunakan sampai 30% dalam pakan
Hidayat 7
unggas. Penggunaan level yang tingg pada final molasses akan menghasilkan
permasalahan dan menyebabkan excreta yang basah.
Lemak dan minyak
Lemak dan minyak merupakan sumber energi tinggi dan kandungan ME-nya sekitar 230-
260% jagung. Sebagai tambahan, suplementasi lemak pada formulasi pakan
menghasilkan pengaruh yang saling menunjang, yaitu palatabilitas yang mengjadi lebih
baik, suplai asam lemak essensial, absorsi atau retensi nutrien yang lebih baik, dan dapat
mengendalikan debu. Minyak kelapa dan minyak sawit adalah dua jenis minyak nabati
yang tersedia di Asia dalam jumlah yang banyak, dan dapat digunakan apabila harga per
unit energi lebih kompetitif. Di Malaysia, minyak sawit kasar telah digunakan untuk
menggantikan lemak hewan yang di import dan penggunaannya didalam diet sampai
batas 3%.

SEMINAR HASIL PENELITIAN PROGRAM PASCA SARJANA (S2) PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BENGKULU



 


Judul  Penelitian
:
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani untuk Melakukan Alih Fugsi Lahan Pertanian Sawah Irigasi ke Tanaman Perkebunan di Kecamatan Padang Jaya Kabupaten Bengkulu Utara
Nama
:
Murlin Hanizar
NPM
:
E2A 007 020
Pembimbing Utama
:
Ir. Satria Putra Utama, M.Sc., Ph.D
Pembimbing Pendamping
:
Dr. Ir. Sumardi, MS


I.       PENDAHULUAN
            Latar Belakang
Indoensia sebagai negara berpenduduk besar menempatkan permasalahan  pangan sebagai salah satu prioritas utama karena berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pokok untuk kehidupan. Pangan berkaitan dengan angka kemiskinan masih mencapai 37,17 juta jiwa (16,58 %) dan penderita gizi buruk yang cukup besar dan hampir ada di setiap wilayah propinsi maupun kabupaten. Lahan sawah mempunyai arti yang sangat penting dalam meningkatkan ketahanan pangan nasional. Ketahanan pangan meliputi aspek ketersediaan bahan pangan, aksesibilitas masyarakat terhadap bahan pangan dan keamanan pangan. Lebih dari 90% beras yang dikonsumsi di Indonesia dihasilkan di dalam negeri, dan sekitar 95% dari beras dalam negeri tersebut dihasilkan dari lahan sawah. Kekurangan kebutuhan beras selama ini dipenuhi dengan beras impor. Jaminan ketersediaan impor lebih rendah dibandingkan dengan ketersediaan beras di dalam negeri. Selain ditentukan oleh kondisi produksi dari negara pengekspor, hubungan bilateral antara negara pengekspor serta keamanan regional turut menentukan ketersediaan beras impor. Ketergantungan pada impor akan melumpuhkan ketahanan pangan nasional dan mengurangi stabilitas sosial, ekonomi, dan politik (Rasahan, 1999).
Dewasa ini, lahan pertanian kian sempit dan kelelahan. Keuntungan pertanian on farm belum menjanjikan, produktivitas padi melandai, diversifikasi pangan gagal, jumlah penduduk kian banyak, sementara karena deraan kemiskinan, konversi lahan pertanian berlangsung kian masif. Rentang 1992-2002, laju tahunan konversi lahan baru 110.000 ha per tahun, tetapi empat tahun terakhir melonjak 145.000 ha per tahun (Ditjen Tanaman Pangan Departemen Pertanian, 2003). Konversi lahan membuat ketahanan pangan rapuh, produksi pangan domestik merosot, lalu kita tergantung dari pangan impor. Sebagian besar pasar pangan dunia bersifat oligopoli, pasarnya tipis dan harganya tidak stabil.
   Konversi lahan sawah didefinisikan sebagai konversi lahan netto.  Artinya luas lahan tahun sebelumnya ditambah pencetakan sawah baru Konversi lahan sawah bernilai positif, jika terjadi pencetakan sawah baru, atau pencetakan lahan sawah yang terjadi lebih luas dari alih fungsi lahan sawah masing-masing pada tahun tersebut. Sebaliknya jika konversi lahan sawah bernilai negatif, berarti hanya terjadi alih fungsi lahan sawah atau, alih fungsi lahan sawah lebih luas dari pencetakan sawah masing-masing pada tahun tersebut (Ilham et al., 2004). Sihaloho (2004) membagi konversi lahan kedalam tujuh pola atau tipologi yaitu (1) konversi gradual berpola sporadis; dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu lahan yang kurang/tidak produktif dan keterdesakan ekonomi pelaku konversi (2) konversi sistematik berpola ‘enclave’; dikarenakan lahan kurang produktif, sehingga konversi dilakukan secara serempak untuk meningkatkan nilai tambah, (3) konversi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk (population growth driven land conversion); lebih lanjut disebut konversi adaptasi demografi, dimana dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, lahan terkonversi untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal, (4) konversi yang disebabkan oleh masalah sosial (social problem driven land conversion); disebabkan oleh dua faktor yakni keterdesakan ekonomi dan perubahan kesejahteraan, (5) konversi tanpa beban; dipengaruhi oleh faktor keinginan untuk mengubah hidup yang lebih baik dari keadaan saat ini dan ingin keluar dari kampung, (6) konversi adaptasi agraris; disebabkan karena keterdesakan ekonomi dan keinginan untuk berubah dari masyarakat dengan tujuan meningkatkan hasil pertanian, dan (7) konversi multi bentuk atau tanpa bentuk; konversi dipengaruhi oleh berbagai faktor, khususnya faktor peruntukan untuk perkantoran, sekolah, koperasi, perdagangan, termasuk sistem waris yang tidak dijelaskan dalam konversi demografi.
Proses alih fungsi lahan secara langsung dan tidak langsung ditentukan oleh beberapa faktor yaitu faktor ekonomi, sosial, dan aksesibilitas lahan terhadap jaringan irigasi. Secara ekonomi alih fungsi lahan yang dilakukan petani baik melalui transaksi penjualan ke pihak lain ataupun mengganti pada usaha non padi merupakan keputusan yang rasional.  Sebab dengan keputusan tersebut petani berekspektasi pendapatan totalnya, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang akan meningkat.  Syafa’at et al. (2001) melaporkan bahwa pada sentra produksi padi utama di Jawa dan Luar Jawa, menunjukkan bahwa selain faktor teknis dan kelembagaan,  faktor ekonomi yang menetukan alih fungsi lahan sawah ke pertanian dan non pertanian adalah (1) nilai kompetitif padi terhadap komoditas lain menurun; (2) respon petani terhadap dinamika pasar, lingkungan, dan daya saing usahatani meningkat. Sumaryanto et al. (1996) juga melaporkan di Jawa menunjukkan bahwa alih fungsi lahan sawah ke non pertanian (63%) lebih tinggi dibandingkan ke pertanian non sawah (37%).  Dari 63 % tersebut, 33 % untuk pemukiman, 6 % untuk industri, 11 % untuk prasarana dan 13 % untuk lainnya.  Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kedekatan lokasi sawah dengan pusat ekonomi sangat nyata mempengaruhi laju konversi lahan Beberapa faktor ekonomi yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah adalah pendapatan usaha tani, luas lahan, dan respon petani terhadap dinamika pasar.
Faktor sosial meliputi tingkat pendidikan, ketersediaan tenaga kerja keluarga, pengalaman berusahatani. Sedangkan faktor aksesibilitas lahan sawah terhadap distribusi air irigasi variabel  yang mencerminkan akses lahan sawah terhadap sumber air irigasi yaitu : (1) Jarak lahan sawah terhadap pintu tersier. Secara empiris  semakin jauh jarak antara persil lahan sawah terhadap pintu tersier maka semakin rendah akses lahan tersebut untuk memperoleh air irigasi;(2) Akses lahan terhadap saluran kuarter. Semakin mudah dijangkau dari saluran kuarter berarti semakin tinggi akses lahan tersebut  terhadap air irigasi (Sumaryanto, 2007).
Kabupaten Bengkulu Utara sebagai salah satu wilayah yang memiliki potensi lahan tanaman pangan khususnya lahan irigasi (irigasi teknis, ½ teknis, irigasi sederhana, irigasi desa) seluas 22.434 ha, dan termasuk yang terluas di Propinsi Bengkulu, saat ini juga banyak mengalami alih fungsi lahan, khususnya di wilayah kecamatan yang memiliki areal irigasi teknis.   Padahal hal tersebut merupakan suatu kerugian yang sangat besar bagi ketersediaan pangan di daerah ini.
Keragaan luas tanam padi sawah di Kabupaten Bengkulu Utara periode tahun 2006 (10.231 ha), 2007 (21.005 ha) dan 2008 (25.517 ha) dan luas panen tahun 2006 (11.167 ha), 2007 (19.297 ha) dan 2008 (23.232 ha) (Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bengkulu Utara, 2007;  2008; 2009). Luas tanam dan luas panen padi sawah di Kabupaten Bengkulu Utara setiap tahunnya meningkat, hal ini dikarenakan semakin dioptimalkannya berbagai program dan kegiatan khususnya bantuan benih melalui Program Peningkatan Produksin Beras Nasional (P2BN) guna meningkatkan produksi beras secara regional yang akhirnya akan berdampak terhadap produksi beras nasional. Pencapaian peningkatan luas tanam dan luas panen ini tidak lepas dari dukungan penyediaan infrastruktur sarana dan prasarana pertanian misalnya adanya optimasi lahan dan air, perbaikan dan pembuatan jaringan irigasi tingkat usaha tani (JITUT) dan jaringan irigasi desa (JIDES) serta dukungan saprodi dan pengawalan oleh Petugas Lapangan.             Sedangkan produksi padi sawah di Kabupaten Bengkulu Utara 2006 (58.099 ton GKP), 2007 (118.249 ton GKP), 2008 (168.192 ton GKP) dan produktivitas padi sawah di Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2006 (41.30 kw/ha),2007 (45.50 kw/ha), 2008 (55.70 kw/ha) (Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bengkulu Utara, 2006;  2007; 2008).
Meskipun secara umum terjadi kenaikan luas tanam, panen, produksi, dan produktivitas padi sawah di Kabupaten Bengkulu Utara, namun terdapat pula kecenderungan terjadinya alih fungsi lahan sawah irigasi  di beberapa tempat terutama di wilayah Kecamatan Padang Jaya. Luas sawah saat awal pembangunan DAM Irigasi Air Lais diperkirakan akan mampu mengairi sekitar 6000 ha sawah irigasi di Padang Jaya, dan pada tahun 2004, 2005, 2006 luas lahan sawah masih sekitar 4000 Ha, namun berdasarkan statistik penggunaan lahan pada tahun 2007 dan 2008 luas lahan sawah di Kecamatan Padang Jaya sekitar 1.244 ha (Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bengkulu Utara, 2007;  2008; 2009). Hal ini membuat kita seharusnya berpikir bahwa dengan pertambahan penduduk Indonesia yang semakin bertambah, namun tidak diikuti dengan laju pertambahan luas lahan, membuat produksi pertanian khususnya sub sektor tanaman pangan tidak akan bisa mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan terutama beras khususnya di Kabupaten Bengkulu Utara dan umumnya di dalam negeri, apabila tidak didukung oleh program serta kegiatan yang tepat. Untuk itu perlu dikaji faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan/mempengaruhi petani untuik melakukan alih fungsi lahan pertanian sawah irigasi  ke tanaman  perkebunan  serta bagaimana dampaknya terhadap ketersediaan pangan dan upaya pengendalian agar alih fungsi lahan tersebut tidak terjadi atau dapat ditekan.

            Rumusan Masalah
Dengan adanya alih fungsi lahan pertanian sawah irigasi  ke tanaman  perkebunan penulis ingin mengetahui, pertama :  faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi petani sawah mengambil keputusan untuk melakukan alih fungsi lahan ke tanaman perkebunan. Kedua, apakah alih fungsi lahan sawah ke tanaman perkebunan berdampak terhadap ketersediaan (produksi) pangan di Kecamatan Padang Jaya Kabupaten Bengkulu Utara .

            Tujuan
1.      Mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keputusan  petani untuk melakukan alih fungsi lahan sawah ke tanaman perkebunan di wilayah Kecamatan Padang Jaya Kabupaten Bengkulu Utara.
2.      Mengukur, menghitung, memprediksi apakah alih fungsi lahan pertanian sawah ke tanaman perkebunan  berdampak terhadap ketersediaan (produksi) pangan  khsususnya beras di Kecamatan Padang Jaya Kabupaten Bengkulu Utara.

              Hipotesis
Diduga terdapat hubungan antara tingkat pendidikan, pengalaman berusahatani, ketersediaan tenaga kerja keluarga, jumlah pendapatan, jumlah tenaga kerja keluarga, respon petani terhadap dinamika pasar, jarak lahan sawah ke pintu tersier, aksesibilitas lahan sawah ke saluran irigasi kuarter terhadap keputusan petani dalam melakukan alih fungsi lahan sawah irigasi ke tanaman perkebunan

              Kerangka Pemikiran
Utomo et al. (1992) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan/penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.
Selain itu dengan banyaknya persoalan lingkungan akhir-akhir ini terutama dengan issue pemanasan global (global warming) sangat berpengaruh terhadap daya dukung lingkungan. Banyaknya kerusakan lingkungan terutama sumber daya air yang disebabkan kerusakan hutan sebagai sumber penyedia air bagi berbagai keperluan makhluk hidup semakin berdampak luas terhadap keberlanjutan berbagai aktivias sosial, ekonomi manusia.
Perhatian dan kekhawatiran para ahli dan pengambil kebijakan masalah pangan terhadap gejala peningkatan alih fungsi lahan sawah ke penggunaan pertanian dan non pertanian akhir-akhir ini semakin mengemuka, terutama dikarenakan  dapat menimbulkan dampak negatif terhadap keberlangsungan sistem pertanian dan ketahanan pangan nasional. Sedangkan jumlah penduduk semakin bertambah setiap harinya. Untuk itulah perlu dibuat berbagai langkah dan kebijakan dalam hal pemenuhan kebutuhan akan pangan bagi penduduk Indonesia.
Bertolak dari kerangka pemikiran di atas, penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan petani untuk melakukan alih fungsi lahan sawah irigasi ke tanaman perkebunan, (2) Mengkaji bahwa alih fungsi lahan sawah irigasi ke tanaman perkebunan berdampak terhadap menurunnya produksi pangan.
Model pendekatan yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan petani untuk melakukan alih fungsi lahan sawah irigasi ke tanaman perkebunan adalah sebagai berikut :






 






















Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran Operasional

II.    METODE PENELITIAN
            Metode Penentuan Lokasi Penelitian
Penentuan lokasi penelitian ini dilakukan secara sengaja di Kecamatan Padang Jaya Kabupaten Bengkulu Utara, karena wilayah ini merupakan daerah irigasi yang juga merupakan sentra produksi pangan di Kabupaten Bengkulu Utara, tetapi juga merupakan wilayah yang saat ini banyak sekali mengalami alih fungsi lahan sawah irigasi ke tanaman perkebunan.

              Metode Penentuan Sampel
Populasi penelitian ini adalah petani padi sawah yang ada di wilayah Kecamatan Padang Jaya yang termasuk dalam keanggotaan kelompok tani di desanya masing-masing. Petani yang termasuk di dalam kelompok tani adalah petani padi sawah yang mengusahakan padi sawah maupun yang telah melakukan alih fungsi lahan sawah irigasinya ke tanaman perkebunan. Metode penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah simple random sampling dimana pemilihan lokasi desanya dilakukan secara sengaja (purposive) dari 9 (sembilan) desa yang ada di Kecamatan Padang Jaya terutama desa yang banyak mengalami alih fungsi lahan akan dipilih beberapa desa yang paling mewakili. Populasi petani yang termasuk dalam keanggotaan kelompok tani berjumlah 2.134 orang. Selanjutnya populasinya (petani) dipilih secara acak. Penentuan total jumlah responden dilakukan dengan menggunakan rumus Taro Yamane (Ridwan dan Akon, 2009) yaitu    n =              N
                                                                                   N.d2 + 1
Dimana :
n    = Jumlah sampel
N   = Jumlah populasi
d2   = Presis yang ditetapkan
Berdasarkan survey pendahuluan diperoleh data bahwa dari 9 (sembilan) desa yang ada di wilayah Kecamatan Padang Jaya, terdapat 4 (empat) desa yang dilalui jaringan irigasi DAM Irigasi Air Lais. Desa-desa tersebut adalah Desa Marga Sakti, Desa Tanjung Harapan, Desa Padang Jaya, Desa Arga Mulya, dengan jumlah petani yang menjadi anggota kelompok tani sebanyak 2.134 orang yang terdiri dari 956 orang petani yang masih tetap melakukan usahatani padi sawah dan 1.178 orang petani yang telah melakukan alih fungsi lahan sawah irigasinya ke tanaman perkebunan. Dari petani yang melakukan alih fungsi lahan diambil responden sebanyak 45  orang responden. Dan dari petani yang tidak melakukan alih fungsi lahan adalah sebanyak   55 orang responden.

            Pengumpulan Data
            Data yang diambil dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder.
a.      Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden dengan teknik wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner. Penggunaan kuesioner ini dimaksudkan untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan melalui daftar pertanyaan yang telah disususn sedemikian rupa.
b.      Data sekunder adalah data yang dikumpulkan dari literatur-literatur dan instansi yang berhubungan dengan penelitian ini. Data sekunder berupa monografi, data BPS dan lainnya.

            Metode Analisis Data
                        Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani untuk Melakukan Alih Fungsi Lahan Sawah Irigasi ke Tanaman Perkebunan
Analisis kuantitatif yang dikembangkan untuk melihat hubungan antara keputusan petani terhadap faktor-faktor yang mempengaruhinya dengan menggunakan regresi linier berganda yang dikenal dengan model fungsi logit yang dimodifikasi. Model fungsi logit dinayatakan dalam suatu bentuk probabilistik, dimana dependen variabel dalam bentuk logaritma dari probabilitas suatu situasi atau atribut akan berlaku dengan syarat atau kondisi adanya variabel-variabel bebas tertentu (Gujarat, 1998; Arif, 1993; Ghosh, 1988), sebagai berikut.
Fungsi linear dari analisa logit (Gujarat, 1995)
1.      Rumus untuk menghitung prediksi probability (Pi)
Pi = E (y=1/Xi) = σ + β Xi
Memperimbangkan representasi berikut dari probability untuk variabel bebas adalah benar :
Pi =        1            
        1 + e – (σ + β Xi)
Dimana :
Pi   = Rata-rata probability prediksi
e    = 2,178
σ    = Konstanta
Βi  = Nilai penduga, dan
Xi  = nilai rata-rata parameter
Untuk mudahnya eksposisi, ditulis sebagai berikut :
Pi =        1            
        1 + e – Zi
Dimana :
Z    = σ + β Xi
2.   1 – Pi = 1 –    1                              = e – (σ + β Xi)
                         1 + e- (σ + β Xi)                   1 + e –(σ + β Xi)
Oleh karena itu, kita dapat tuliskan :
3.    Pi / (1 – Pi) =     1             =  e –Zi              = e (σ + β Xi)
                              1+ e – (Zi)       1 + e – Z
4.   Gunakan log natural untuk dua sisi
ln [Pi / (1- Pi) ]      = ln [ e  (σ + β Xi) ]
                              = σ + β Xi + ei
Dimana :
ln   = log natural
ei   = kesalahan pengganggu
Persamaannya adalah :

Y= β0 + β1X1 + β2X2+.......... + β8X8+ δi

Keterangan:

Y   = Keputusan petani
         Y = 1 : jika petani memilih tidak alih fungsi lahan
         Y = 0 : jika petani memilih alih fungsi lahan
β0, β1 = ( i = 1 .....8 ) = Koefisien regresi
X1     = Tingkat pendidikan
X2 = Ketersediaan tenaga kerja keluarga
X3 = Pengalaman usahatani
X4 = Pendapatan
X5  = Luas lahan
          (0 =  luas lahan 0,25 – 1 Ha,   1 =  luas lahan > 1,5 ha)
X6  = Respon petani terhadap dinamika pasar komoditi perkebunan
X7 = Jarak lahan sawah terhadap pintu irigasi tersier
X8  = Variabel dummy aksesibilitas lahan sawah terhadap jaringan irigasi kuarter
          Kategori : (0 = aksesibilitas mudah,  1 = aksesibilitas sulit)
δi   = Galat (error)

Untuk menguji signifikasi dari parameter dalam model digunakan Uji Rasio Likelihood dan Uji Wald. Uji Rasio Likelihood digunakan untuk menguji signifikansi koefisien parameter dari model secara keseluruhan. Sedangkan uji wald digunakan untuk menguji signifikansi dari masing-masing koefisien parameter dari model.

Uji Rasio Likelihood
Hipotesis :       H0 : β0 = β1 = ......= βp = 0
                        H1 : paling sedikit satu βj ≠ 0, untuk j = 1, 2, .....p
Statistik uji :    G = - 2 ln
Tingkat signifikansi :α
Kriteria uji : tolak H0 jika G >χ­2α,p  atau Sig. < α

Uji P
Hipotesis :       H0 : βj = 0, j = 1, 2, ...., p
                        H1 : βj 0, j = 1, 2, ...., p
Statisitik uji : Pj =
Tingkat uji : α
Kriteria uji : Tolak H0 jika Sig. > α

                        Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah Irigasi ke Tanaman Perkebunan
Untuk mengukur, menghitung, memprediksi apakah alih fungsi lahan pertanian sawah ke tanaman perkebunan  berdampak terhadap ketersediaan (produksi) pangan  khsususnya beras di Kecamatan Padang Jaya Kabupaten Bengkulu Utara di gunakan perhitungan konsumsi beras per kapita per tahun yaitu 140 kg, dibandingkan dengan produksi beras di Kecamatan Padang Jaya selama 1 tahun dikalikan dengan jumlah penduduk dan rata-rata konsumsi beras per kapita per tahun (140 Kg).

            Konsep Pengukuran Variabel
1.      Tingkat pendidikan adalah jumlah tahun mengenyam pendidikan  formal yang pernah dijalani oleh responden.
2.      Pengalaman berusahatani adalah lamanya petani telah mengusahakan usahataninya (dinyatakan dalam tahun).
3.      Jumlah tenaga kerja keluarga adalah banyaknya tenaga kerja yang bekerja dalam usahatani padi sawah yang berasal dari anggota keluarga, dinyatakan dengan jumlah orang.
4.      Tingkat pendapatan petani adalah total pendapatan rata-rata petani (responden) yang diperoleh dalam berusaha tani padi sawah selama satu musim dinyatakan dalam rupiah (Rp).
5.      Luas lahan yang dimiliki adalah ukuran lahan yang dimiliki oleh responden dalam satuan hektar (ha).
6.      Respon petani terhadap dinamika pasar adalah kecenderungan perubahan pola pikir petani terhadap perkembangan usaha komoditi pertanian yang sedang menjadi trend dibudidayakan karena diminati oleh pasar, dinyatakan dengan positif atau negatif.
7.      Jarak lahan sawah terhadap pintu irigasi tersier adalah jarak lahan sawah irigasi dengan saluran yang membawa air dari bangunan sadap tersier ke petak tersier, dinyatakan dalam satuan meter (m).
8.      Aksesibilitas lahan sawah terhadap jaringan irigasi kuarter adalah kondisi lahan sawah untuk  dijangkau oleh air irigasi, dinyatakan dengan mudah atau sulit.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
            Karakteristik Petani
Karakteristik petani menggambarkan keadaan yang sebenarnya dari petani tersebut. Dalam penelitian ini yang menjadi petani adalah petani masih tetap melakukan usahatani padi sawah dan petani yang telah melakukan alih fungsi lahan sawah irigasinya ketanaman perkebunan. Responden dalam  penelitian ini berjumlah 100 orang petani terdiri dari 55 responden adalah petani yang telah melakukan alih fungsi lahan pertanian sawah ketanaman perkebunan dan 45 responden  petani yang tetap melakukan usahatani padi sawah. Faktor-faktor yang diamati dalam penelitian ini antara lain tingkat pendidikan, ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga, pengalaman usahatani, pendapatan, luas lahan respon petani terhadap dinamika pasar, jarak lahan sawah ke pintu irigasi tersier, dan aksesibilitas lahan sawah terhadap  jaringan irigasi kuarter.

3.1.1. Umur Petani
Dari hasil penelitian umur petani yang tidak alih fungsi lahan dan alih fungsi lahan memiliki kisaran 25 tahun – 66 tahun dengan rata-rata umur petani yang tidak melakukan alih fungsi lahan yaitu 40,49 tahun dan rata-rata umur petani yang melakukan alih fungsi lahan yaitu 38,69 tahun. Petani yang tidak alih fungsi lahan memiliki jumlah persentase yang paling besar yaitu pada kisaran umur 37 – 41 tahun atau 24,44%, sedangkan petani alih fungsi  pada kisaran umur 25 – 30 tahun atau 27,27%. Petani yang memilih usahatani kacang panjang sebanyak 45,84 Ini berarti umur petani yang tidak alih fungsi dan yang alih fungsi termasuk dalam kategori usia produktif. Usia produktif berhubungan dengan kemampuan kerja petani, dimana petani yang berada pada usia ini tentunya masih mempunyai kemampuan yang optimal, yang lebih baik dalam berfikir dan bertindak dalam melakukan suatu kegiatan (Sukirno, 1996). Selanjutnya, Hernanto (1988) menyatakan pula bahwa kemampuan tenaga kerja dalam mengusahakan suatu pekerjaan sangat di pengaruhi oleh faktor umur. Umur diduga berpengaruh pada keputusan petani untuk alih fungsi lahan dari tanaman padi sawah ke tanaman perkebunan. Hal ini disebabkan karena petani yang lebih muda umumnya lebih aktif dalam mencari informasi, lebih dinamis untuk menerima perubahan dan selalu ingin mencoba-coba hal yang baru, sehingga mereka lebih selektif terhadap pilihan komoditi yang akan di usahakan pada musim berikutnya.


3.1.2. Pengalaman Berusahatani
Menurut Makeham dan Malcom (1991), pengalaman memilih usahatani banyak memberikan kecenderungan bahwa petani bersangkutan memiliki keterampilan yang relative  tinggi dan sebaliknya seseorang petani akan cenderung belajar dari pengalamannya apabila ia melakukan kegiatan usahatani yang sudah pernah ia lakukan sehingga memberikan gambaran tentang komoditi apa yang harus diusahakan dilahan usahataninya. Dari hasil penelitian diketahui rata-rata pegalaman usahatani petani yang tidak alih fungsi selama 16,09 tahun dan rata-rata pengalaman berusahatani petani alih fungsi selama 13,42 tahun. Tidak terdapat perbedaan pengalaman berusahatani antara petani tidak alih fungsi dengan petani alih fungsi kisaran terbesar pengalaman berusahatani antara 4 – 13 tahun masing-masing sebesar 42,22% dan 61,28%. Dari gambaran diatas dapat diindikasikan bahwa pengalaman berusahatani dapat mempengaruhi keputusan petani untuk tidak atau alih fungsi lahan dari tanaman padi sawah ke tanaman perkebunan.

3.1.3. Jumlah Tanggungan Keluarga dan Ketersediaan Tenaga Kerja
Jumlah anggota keluarga erat kaitannya dengan tanggung jawab kepala keluarga untuk mencari nafkah, karena semakin tinggi jumlah tanggungan keluarga maka kebutuhan semakin besar. Dari hasil penelitian diketahui rata-rata jumlah tanggungan keluarga petani yang tidak alih fungsi sebanyak 2,60 orang dan rata-rata jumlah tanggungan keluarga petani yang alih fungsi sebanyak 2,44 orang. Terdapat kisaran 1 - 3 orang baik petani tidak melakukan  alih fungsi lahan maupun petani yang melakukan alih fungsi lahan sawah ke tanaman perebunan memiliki persentase yang paling besar. Petani  tidak alih fungsi adalah 82,22%, sedangkan petani alih fungsi adalah 85,45%. Jumlah tanggungan keluarga akan mempengaruhi kepala keluarga dalam melakukan kegiatan usahatani guna memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Semakin banyak jumlah tanggungan maka kebutuhan akan semakin besar dan pengeluaran juga akan semakin besar pula. Hal ini akan berpengaruh pada keputusan petani untuk alih fungsi lahan karena petani akan berfikir bagaimanapun berusahatani harus bisa menghasilkan produksi dan penghasilan yang optimal. Di dalam jumlah tanggungan keluarga terdapat anggota keluarga yang bisa membantu dalam berusahatani karena sebelum petani memilih usahatani perlu melihat tenaga kerja yang akan membantu pada musim tanam yang akan datang. Ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga merupakan berapa banyak anggota dalam keluarga yang ikut dalam kegiatan berusahatani. Dari hasil penelitian diketahui rata-rata jumlah ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga petani tidak alih fungsi sebanyak 3,09 orang dan rata-rata jumlah ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga petani alih fungsi sebanyak 3,75 orang. Rata-rata ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga petani alih fungsi lebih besar dari pada rata-rata ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga petani tidak alih fungsi masing-masing 3 dan 4 orang.

3.1.4. Lama Pendidikan Formal
Pendidikan petani pada umumnya mempengaruhi cara dan pola pikir petani dalam mengelola usahatani. Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik tingkat pendidikan petani maka ia akan semakin efisien bekerja dan semakin banyak mengetahui cara-cara atau teknik memilih usahatani yang lebih baik (Zulkarnain, 2006). Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi petani dalam pengambilan keputusan untuk pemanfaatan fungsi lahan usahataninya. Dari hasil penelitian pendidikan petani tidak alih fungsi dan petani alih fungsi memiliki kisaran 1 tahun – 17 tahun dengan rata-rata pendidikan petani tidak alih fungsi yaitu 7,31 tahun dan rata-rata pendidikan petani alih fungsi yaitu 9,78 tahun. Persentase terbesar lama pendidikan formal petani tidak alih fungsi pada kategori 1 - 6 tahun sebesar 48,89% sedangkan petani alih fungsi sebesar 34,55% pada kisaran 10 -12 tahun.  Hasil penelitian ini menunjukkan rata-rata lama pendidikan formal petani tidak alih fungsi lebih besar dari pada rata-rata lama pendidikan petani tidak alih fungsi yaitu 10 tahun untuk petani alih fungsi dan 7 tahun untuk petani tidak alih fungsi. Dengan demikian petani alih fungsi lahan rata-rata tamat  SMP, sedangkan petani tidak alih fungsi lahan rata-rata tidak  tamat  SMP. Dengan tingginya tingkat pendidikan maka petani lebih bisa menentukan komoditi apa yang pantas untuk diusahakan melihat perkembangan permintaan pasar sekarang ini.

3.1.5. Frekuensi Pendidikan Non Formal
Dari hasil penelitian, frekuensi pendidikan non formal petani tidak alih fungsi lahan dan alih fungsi lahan memiliki kisaran 0 kali – 4 kali dengan rata-rata frekuensi pendidikan non formal petani tidak alih fungsi lahan yaitu 2,02 kali dan rata-rata frekuensi pendidikan non formal petani alih fungsi lahan yaitu 1,05 kali. Adapun jenis pendidikan non formal yang pernah diikuti oleh petani antara lain kegiatan penyuluhan yang diselenggarakan oleh Dinas Pertanian dan PPL di desa masing-masing. Peresentase frekuensi pendidikan non formal petani tidak alih fungsi sebanyak  2 kali atu 64,44%. Sedangkan petani alih fungsi lahan memiliki frekuensi pendidikan sebanyak 1 kali atau 47,27%.  Frekuensi pendidikan non formal petani tidak alih fungsi lahan lebih besar dari petani alih fungsi lahan. Petani yang memilih tidak alih fungsi lahan lebih sering mengikuti penyuluhan dari pada petani alih fungsi lahan.

3.1.6. Luas Lahan
Dari hasil penelitian, diketahui luas lahan yang di garap petani berbeda-beda, dengan rata-rata luas lahan petani yang tidak alih fungsi lahan adalah 0,99 ha dan rata-rata luas lahan petani yang alih fungsi lahan adalah 1,40 ha. Luas lahan petani yang tidak alih fungsi lahan atau petani alih fungsi lahan berbeda. Pada kategori 0,25 – 1 ha atau 77,78%, sedangkan petani alih fungsi lahan sebesar 56,36%. Kemudian kategori lahan > 1,5 ha pada petani tidak alih fungsi sebesar 22,22% sedangkan petani laih fungsi sebesar 43,64%. Dengan adanya perbedaan  luas lahan yang diusahakan, maka luas lahan menjadi salah satu faktor utama dalam petani untuk alih fungsi lahan.

3.1.7. Pendapatan
Ketersediaan modal bagi petani berhubungan erat dengan tingkat keberhasilan pengelolaan usahatani. Keberhasilan usahatani tidak terlepas dari bagaiamana petani dapat mengambil keputusan-keputusan penting dalam usahatani mereka. Hasil penelitian ini pendapatan yang dihitung adalah pendapatan kotor. Rata-rata pendapatan yang diperoleh petani tidak alih fungsi lahan adalah Rp 5.680.155,56 per bulan dan penerimaan petani alih fungsi lahan adalah Rp 6.089.254,55 per bulan, dengan kisaran Rp 1.641.600,- sampai Rp 33.600.000,-. Pendapatan petani tidak alih fungsi pada kategori Rp 1.641.600,- sampai Rp 3.000.000 sebesar 28,89% lebih rendah dibandingkan petani alih fungsi lahan sebanyak 32,73%. Pendapatan petani ini merupakan hasil produksi dari komoditi tanaman padi sawah, tanaman perkebunan seperti sawit dan karet.

3.1.8. Jarak Lahan Sawah ke Pintu  Tersier
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata jarak irigasi tersier ke lahan pertanian untuk petani tidak alih fungsi adalah 935, 11 meter sedangkan petani alih fungsi rata-rata 734,55 meter. Jarak lahan sawah ke pintu  tersier berkisar 460 – 1000 meter dengan masing-masing tingkat persentase sebesar 46,67% dan 45,45%. Irigasi merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan bagi petani yang bersumber dari air irigasi karena, tingkat aksisibilitas air yang tinggi akan memberikan dampak yang baik terhadap perkembangan pertumbuhan tanaman

            Alasan-alasan yang Mempengaruhi Keputusan Petani untuk Alih Fungsi Lahan dari Tanaman Padi Sawah ke Tanaman Perkebunan
Dari hasil penelitian dapat diketahui beberapa alasan petani untuk alih fungsi lahan. Ada tiga alasan yang ditanyakan kepada petani yaitu alas an teknis, alasan sosial dan alasan ekonomi. Hasil penelitian petani alih fungsi lahan dapat dilihat pada tabel berikut. Terdapat beberapa alasan petani beralih fungsi lahan sawah ke tanaman perkebunan  yaitu alasan teknis, alasan sosial, alasan ekonomi.  Salah satu alasan petani untuk alih fungsi lahan dari aspek teknis adalah jika tanaman perkebunan proses produksinya lebih sering dibanding tanaman padi sawah dengan persentase 80%. Tanaman perkebunan, jika tanaman sawit bisa panen 2 kali dalam sebulan, jika tanaman karet bisa setiap hari apabila cuaca tidak hujan. Dari alasan diatas dapat disimpulkan bahwa rata-rata persentase petani yang alih fungsi lahan berdasarkan alasan teknis adalah sebesar 77,50%. Dilihat dari alasan sosial bahwa petani yang memilih alih fungsi lahan lebih disebabkan karena ketertarikan setelah melihat petani lainnya yang sudah mengusahakan tanaman perkebunan dan melihat tingkat keberhasilan teman yang sudah mengusahakan tanaman perkebunan tersebut masing-masing sebesar 80%.  Pertimbangan dari aspek ekonomi diketahui bahwa petani beralasan bahwa harga jual tanaman perkebunan lebih tinggi dibanding tanaman padi sawah. Petani yang beralasan tersebut sebesar 100%. Tanaman perkebunan karet misalnya bisa mencapai Rp 10.000 – Rp 11.000 per kilonya kenyataan ini tentunya menjadi pertimbangan petani untuk  beralih ke tanaman perkebunan. Selain alasan tersebut, alasan ekonomi yang lain adalah tanaman perkebunan adalah tanaman yang lagi ngetren dipasaran sebesar 80% karena terdapat banyak pembeli jadi tidak sulit untuk menjualnya. Dari ketiga alasan diatas, alasan ekonomi merupakan persentase alasan petani yang paling besar yaitu 90% dikarenakan tanaman perkebunan mempunyai nilai jual yang tinggi dan tidak sulit untuk mencari pembeli

            Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani Untuk Alih  Fungsi Lahan
IV.          Binary Logistic Regression: Y versus X1; X2; X3; X4; X5; X6; X7; X8

V.       Link Function: Logit
VI.       
VII.     
VIII.   Response Information
IX.       
X.       Variable  Value  Count
XI.      Y         1         45  (Event)
XII.              0         55
XIII.             Total    100
XIV.     
XV.       
XVI.    Logistic Regression Table
XVII.    
XVIII.                                                   Odds     95% CI
XIX.    Predictor        Coef    SE Coef      Z      P  Ratio  Lower  Upper
XX.      Constant      3,75930    1,54553   2,43  0,015
XXI.    X1          -0,319370   0,110574  -2,89  0,004   0,73   0,59   0,90
XXII.   X2          -0,116648   0,248214  -0,47  0,638   0,89   0,55   1,45
XXIII.  X3         -0,0480397  0,0373510  -1,29  0,198   0,95   0,89   1,03
XXIV.   X4          0,0000001  0,0000001   1,43  0,152   1,00   1,00   1,00
XXV.    X5           -1,20217   0,578767  -2,08  0,038   0,30   0,10   0,93
XXVI.   X6           0,232090  0,0986140   2,35  0,019   1,26   1,04   1,53
XXVII.  X7          0,0003125  0,0002136   1,46  0,144   1,00   1,00   1,00
XXVIII.     X8
XXIX.    1            2,18208   0,593511   2,58  0,006   0,11   0,04   0,36
XXX.     0           -1,31077   0,806497  -1,63  0,104   0,27   0,06   1,31
XXXI.    
XXXII.   
XXXIII.     Log-Likelihood = -46,759
XXXIV.  Test that all slopes are zero: G = 44,110, DF = 9, P-Value = 0,001
XXXV.    
XXXVI.   
XXXVII.     Goodness-of-Fit Tests
XXXVIII.     
XXXIX.  Method           Chi-Square  DF      P
XL.      Pearson             131,223  90  0,003
XLI.    Deviance             93,518  90  0,379
XLII.   Hosmer-Lemeshow       5,158   8  0,741
XLIII.   
XLIV.    
XLV.    Table of Observed and Expected Frequencies:
XLVI.   (See Hosmer-Lemeshow Test for the Pearson Chi-Square Statistic)
XLVII.   
XLVIII.                                  Group
XLIX.   Value    1    2    3    4    5    6    7    8    9   10  Total
L.       1
LI.        Obs    1    1    0    3    3    5    6    8    9    9     45
LII.      Exp  0,2  0,9  1,8  2,6  3,5  4,7  6,0  7,6  8,5  9,2
LIII.   0
LIV.      Obs    9    9   10    7    7    5    4    2    1    1     55
LV.        Exp  9,8  9,1  8,2  7,4  6,5  5,3  4,0  2,4  1,5  0,8
LVI.    Total   10   10   10   10   10   10   10   10   10   10    100
LVII.    
LVIII.   
LIX.    Measures of Association:
LX.      (Between the Response Variable and Predicted Probabilities)
LXI.     
LXII.   Pairs       Number  Percent  Summary Measures
LXIII.  Concordant    2142     86,5  Somers' D              0,73
LXIV.   Discordant     327     13,2  Goodman-Kruskal Gamma  0,74
LXV.    Ties             6      0,2  Kendall's Tau-a        0,37
LXVI.   Total         2475    100,0
LXVII.   
             
Dari hasil penelitian diketahui bahwa jumlah petani yang memilih untuk alih fungsi lahan adalah sebanyak 55 orang (pilihan 1) atau 55% dan jumlah petani yang tidak alih fungsi lahan sebanyak 45 orang (pilihan 0) atau 45%. Hal ini menunjukkan bahwa di Kecamatan Padang Jaya petani yang beralih fungsi lahan sudah mulai terlihat. Pengaruh faktor tingkat pendidikan, ketersediaan tenaga kerja, pengalaman usahatani, pendapatan, luas lahan, respon petani terhadap dinamika pasar, jarak lahan ke pintu tersier dan aksesibilitaslahan terhadap irigasi kuarter di Kecamatan Padang Jaya Kabupaten Bengkulu Utara dapat dilihat pada tabel berikut yaitu hasil perhitungan dengan menggunakan program Minitab dengan analisis logit. Dari hasil analisis diketahui bahwa secara bersama-sama variabel pendidikan, ketersediaan tenaga kerja, pengalaman usahatani, pendapatan, luas lahan, respon pasar, jarak lahan ke irigasi tersier, dan aksesibilitas lahan irigasi kuarter mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan alih fungsi lahan pertanian sawah ke tanaman perkebunan.
Sebagaimana halnya dengan model regresi linear dengan metode OLS, jika pada metode OLS kita menggunakan uji F, maka pada model ini, digunakan uji G. Statistik G ini menyebar menurut sebaran Khi-kuadrat (χ2). Karenanya dalam pengujiannya, nilai G dapat dibandingkan dengan nilai χ2 tabel pada α tertentu dan derajat bebas k-1. Dari tabel 12 diatas diketahui hasil analisis nilai G sebesar adalah 44,110 lebih besar nilai chi kuadrat tabel 16,919, dengan p-value 0,001 dibawah 5% (menggunakan pengujian dengan α=5%), maka dapat disimpulkan bahwa model regresi logistik secara keseluruhan dapat menjelaskan atau memprediksi keputusan petani untuk alih fungsi lahan. Untuk melihat pengaruh masing-masing variabel yang diteliti digunakan nilai p-value masing-masing variabel dibandingkan dengan nilai  signifikan  sebesar 0,005. Pengaruh masing-masing variabel penelitian terhadap keputusan petani akan dijelaskan secara rinci sebagai berikut :
3.3.1. Pendidikan Formal
Pendidikan formal memiliki nilai koefisien sebesar -0,319370, dimana nilai p-value sebesar 0,004 lebih kecil dari 0,05. Dengan demikian tolak H0 dan diterima Ha. Artinya pendidikan formal mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan alih fungsi lahan pertanian sawah ke tanaman perkebunan. Semakin tinggi pendidikan formal yang ditempuh akan menjadi pertimbangan petani untuk melakukan  alih fungsi lahan pertanian sawah ke tanaman perkebunan. Koefisien dalam model logit menunjukkan perubahan dalam logit sebagai akibat perubahan satu satuan variabel independent. Interpretasi yang tepat untuk koefisien ini tentunya tergantung pada kemampuan menempatkan arti dari perbedaan antara dua logit. Oleh karenanya, dalam model logit, dikembangkan pengukuran yang dikenal dengan nama odds ratio (ψ). Adds ratio pendidikan formal dalam penelitian ini adalah 0,73, diartikan bahwa petani yang berpendidikan lebih tinggi satu tahun peluang melakukan keputusan untuk alih fungsi lahannya adalah 0,73 % dibandingkan petani yang berpendidikan lebih rendah satu tahun. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Munir (2008) di Desa Candimulyo, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah, dapat diketahui bahwa ada faktor-faktor yang berhubungan dengan konversi lahan. Faktor- faktor tersebut meliputi faktor internal petani dan faktor eksternal. Faktor internal adalah karakteristik petani yang mencakup umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan yang dimiliki, dan tingkat ketergantungan terhadap lahan. Sedangkan faktor eksternal mencakup pengaruh tetangga, investor, dan kebijakan pemerintah daerah dalam hal pengembangan pertanian. Tingkat pendidikan formal petani sangat berpengaruh terhadap kemampuan dalam merespon suatu inovasi. Makin tinggi tingkat pendidikan formal petani diharapkan makin rasional dalam pola pikir dan juga daya nalarnya. Dengan pendidikan yang semakin tinggi diharapkan dapat lebih mudah merubah sikap dan perilaku untuk bertindak lebih rasional (Rukka, 2006).

3.3.2. Ketersediaan Tenaga Kerja
Ketersediaan tenaga kerja memiliki koefisien regresi sebesar -0,116648, nilai p-value sebesar 0,638 lebih besar dari 0,05. Dengan demikian terima H0 dan tolak Ha. Artinya ketersediaan tenaga kerja tidak mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan  alih fungsi lahan. Sedikit banyaknya tenaga kerja yang dimiliki tidak akan menjadi pertimbangan petani untuk alih fungsi lahan. Adds ratio ketersediaan tenaga kerja dalam penelitian ini adalah sebesar 0,89, diartikan bahwa petani yang mempunyai tenaga kerja kurang dari satu orang peluang untuk tidak alih fungsi lahannya adalah 0,89% dibandingkan petani yang mempunyai lebih banyak tenaga kerja satu orang.

3.3.3. Pengalaman Usahatani
Pengalaman usatahatani memiliki koefisien regresi sebesar -0,0480397, nilai p-value sebesar 0,198 lebih besar dari 0,05. Dengan demikian terima H0 dan tolak Ha. Artinya pengalaman usahatani tidak mempengaruhi keputusan petani untuk alih fungsi lahan. Lama tidaknya pengalaman usahatani yang dimiliki petani tidak akan menjadi pertimbangan petani untuk alih fungsi lahan. Adds ratio pengalaman usahatani dalam penelitian ini adalah sebesar 0,95, diartikan bahwa petani yang mempunyai pengalaman usahatani lebih sedikit satu tahun peluang untuk tidak melakukan fungsi lahannya  adalah 0,95 kali dibandingkan petani yang mempunyai pengalaman usahatani lebih banyak satu tahun.

3.3.4. Pendapatan
Pendapatan  usatahatani memiliki koefisien regresi sebesar -0,0000001, nilai p-value sebesar 0,152 lebih besar dari 0,05. Dengan demikian terima H0 dan tolak Ha. Artinya pendapatan petani tidak mempengaruhi keputusan petani untuk alih fungsi lahan. Besar kecilnya pendapatan yang diterima petani tidak akan menjadi pertimbangan petani untuk alih fungsi lahan. Nilai adds ratio pendapatan sebesar 1,00, diartikan bahwa petani yang memperoleh  pendapatan kurang dari satu juta peluang  untuk tidak melakukan alih fungsi lahannya  adalah 1,00 kali dibandingkan petani yang memperoleh pendapatan lebih dari satu juta.

3.3.5. Luas Lahan
Variabel luas lahan memiliki nilai koefisien sebesar -1,20217, dimana nilai p-value sebesar 0,038 lebih kecil dari 0,05. Dengan demikian tolak H0 dan terima Ha. Artinya luas lahan yang dimiliki petani mempengaruhi keputusan petani untuk alih fungsi lahan. Semakin besar luas lahan yang dimiliki akan menjadi pertimbangan petani untuk melakukan alih fungsi lahan sawah ke tanaman perkebunan. Adds ratio luas lahan dalam penelitian ini adalah 0,30, diartikan bahwa petani yang mempunyai luas lahan lebih besar 1 ha peluang alih fungsi lahannya adalah 0,30 kali dibandingkan petani yang mempunyai luas lahan dibawah 1 ha.

3.3.6. Respon Petani Terhadap Dinamika Pasar
Variabel respon pasar memiliki nilai koefisien sebesar 0,232090, dimana nilai p-value sebesar 0,019 lebih kecil dari 0,05. Dengan demikian tolak H0 dan terima Ha. Artinya respon petani terhadap dinamika pasar mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan alih fungsi lahan sawah ke tanaman perkebunan. Semakin baik respon petani terhadap dinamika pasar serta informasi tentang komoditi tanaman pertanian yang memiliki keunggulan secara ekonomi untuk diusahakan menjadi pertimbangan petani untuk melakukan alih fungsi lahan pertanian sawah ke tanaman perkebunan. Dari Tabel 12 diketahi nilai odds ratio respon pasar dalam penelitian ini adalah 1,26, diartikan bahwa jika respon petani terhadap dinamika pasar bernilai positif peluang alih fungsi lahannya adalah 1,26% dibandingkan jika respon petani terhadap dinamika pasar lebih rendah/negatif. Sedangkan faktor eksternal dapat meliputi kebijakan pemerintah, pengaruh pihak swasta (investor), serta jumlah rumah tangga petani yang mengkonversi lahan pertanian di daerah tersebut. Petani sangat respon terhadap tekologi baru di bidang pertanian dengan harapan akan mampu meningkatkan produksi dan memperbaiki penghasilannya (Sinar Tani, 2006). Petani yang memiliki respon terhadap dinamika pasar adalah petani yang menjalankan usahanya atas dasar permintaan pasar yang tersedia, inovasi, peluang pasar, asas skala ekonomi dan resiko merupakan aspek-aspek yang melekat pada usaha yang berorientasi pasar sehingga kemampuan-kemampuan yang menyangkut aspek-aspek tersebut sangat perlu dimiliki dan dikembangkan di kalangan petani. Selain itu pasar merupakan salah satu faktor eksogen dalam alih guna lahan (Suyamto et al., 2004). Gejolak harga komoditi tanaman perkebunan yang selalu meningkat semakin membuat para petani tertarik untuk mengembangkan tanaman perkebunan tersebut meskipun dengan jalan melakukan alih fungsi lahan sawah irigasi ke tanaman perkebunan.

3.3.7. Jarak Lahan ke PintuTersier
Jarak lahan ke irigasi terseier memiliki koefisien regresi sebesar 0,0003125, nilai p-value sebesar 0,144 lebih besar dari 0,05. Dengan demikian terima H0 dan tolak Ha. Artinya jarak lahan ke irigasi tersier tidak mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan alih fungsi lahan pertanian sawah ke tanaman perkebunan. Dekat jauhnya lahan petani ke irigasi tersier tidak akan menjadi pertimbangan petani untuk alih fungsi lahan. Dari Tabel 12 diketahui nilai odds ratio jarak lahan sebesar 1,00, diartikan bahwa petani yang memiliki lahan ke jaringan irigasi tersier lebih dari 100 meter peluang untuk tidak melakukan alih fungsi lahannya  adalah 1 kali dibandingkan petani yang memiliki jarak lahan ke irigasi tersiernya kurang dari 100 meter. Jaringan irigasi teknis yang selanjutnya disebut jaringan irigasi merupakan sekumpulan bangunan-bangunan bagi, sadap, bangunan silang, pelengkap, saluran pembawa, saluran dan bangunan pembuang yang terdapat dalam suatu lahan, yang petak sawahnya memanfaatkan air dari sumber yang sama.  Petak tersiersuatu lahan seluas maksimum 60 ha, yang berisikan petak-petak kuarter yang luasnya maksimum 10 ha, yang mengambil air dari satu pintu bangunan sadap. Petak tersier ini dilengkapi pula dengan boks-boks tersier, kuarter, saluran pembawa tersier, kuarter, cacing, saluran pembuang, serta  bangunan silang seperti yang ada di jaringan irigasi (Badan Litbag PU, 2005). Berdasaran hasil peneltian, maka diketahui rata-rata jarak lahan sawah ke pintu tersier berada pada jarak yang optimum terhadap pintu tersier yaitu < 600 m.

3.3.8. Aksesibilitas Lahan Terhadap Irigasi Kuarter
Aksesisbilitas irigasi kuarter memiliki nilai koefisien sebesar 2,18208, dimana nilai p-value sebesar 0,006 lebih kecil dari 0,05. Dengan demikian tolak H0 dan terima Ha. Artinya aksesibilitas lahan sawah petani terhadap saluran air irigasi kuarter mempengaruhi keputusan petani untuk alih fungsi lahan. Semakin sulit/tidak lancar aksesibilitas lahan terhadap air irigasi kuarter maka akan menjadi pertimbangan petani untuk melakukan alih fungsi lahanpertanian sawahnya. Odds ratio aksesibilitas air irigasi kuarter dalam penelitian ini adalah 0,11, diartikan bahwa petani yang mempunyai akses irigasi air kuarter sulit peluang alih fungsi lahannya seluas adalah 0,11% lebih besar dibandingkan petani yang mempunyai akses lahan terhadap saluran irigasi kuarter yang mudah/baik. Menurut Ginting (2005) alasan petani melakukan alih fungsi lahan terutama akibat penurunan debit air. Sehingga lahan tidak bisa memperoleh air sebagaimana yang dibutuhkan untuk mengairi lahan sawah. Degradasi lingkungan, yang berdampak kepada rusaknya tatanan hidrologi menyebabkan kuantitas dan kontinuitas penyediaan air irigasi terutama di musim kemarau menjadi langka sementara di musim hujan menjadi bencana banjir. Akibatnya adalah tanaman tidak dapat lagi tumbuh sesuai dengan kondisi yang dibutuhkannya

            Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah Irigasi ke Tanaman Perkebunan
Terjadinya  alih fungsi lahan pertanian sawah ke tanaman perkebunan  berdampak terhadap ketersediaan (produksi) pangan  khsususnya beras di Kecamatan Padang Jaya Kabupaten Bengkulu Utara, dengan menggunakan perhitungan konsumsi beras per kapita per tahun yaitu 140 kg, dibandingkan dengan produksi padi sawah (beras) di Kecamatan Padang Jaya selama 1 tahun dikalikan dengan jumlah penduduk dan rata-rata konsumsi beras per kapita per tahun (140 Kg). Berdasarkan data BPS Kabupaten Bengkulu Utara tahun 2008  luas tanam (padi sawah dan padi ladang) = 2.093 Ha, luas panen (padi sawah dan padi ladang) 2.024  Ha, Produksi Beras 4.408,95 ton, sedangkan jumlah penduduk di Kecamatan Padang Jaya 26.784 jiwa. Rata-rata kebutuhan beras perkapita pertahun adalah 140 kg. Jadi kebutuhan berasnya adalah 3.749,760 ton. Produksi beras (4.408,95 ton) dikurang kebutuhan penduduk (3.749,760) masih ada sisa stok produksi beras yaitu sebesar 659,19 ton. Namun untuk tahun 2009 terjadi penurunan yaitu luas tanam (padi sawah dan padi ladang) = 1.724 Ha, luas panen (padi sawah dan padi ladang) 1.570 Ha, produksi beras 3.468,42 ton, sedangkan jumlah penduduk di Kecamatan Padang Jaya 26.784 jiwa. Rata-rata kebutuhan beras perkapita pertahun adalah 140 kg. Jadi kebutuhan berasnya adalah 3.749,760 ton. Produksi beras (3.458,42 ton) dikurang kebutuhan penduduk (3.749,760) terdapat kekurangan  beras yaitu sebesar 281,34 ton.  Hal ini dapat terjadi dikarenakan penurunan luas tanam dan luas panen yang mungkin disebabkan sudah banyak lahan sawah yang mengalami alih fungsi ke penggunaan pertanian lainnya. Untuk mengatasi hal tersebut perlu adanya langkah-langkah dalam peningkatan produksi diantaranya melalui peningkatan produktivitas (intensifikasi), jika tidak maka Kecamatan Padang Jaya akan selalu mengalami kekurangan beras dan perlu diimpor dari wilayah lainnya

LXVIII.                    SIMPULAN DAN SARAN
            Simpulan
1.      Alasan-alasan petani untu melakukan aliih fungsi lahan pertanian sawah ke tanaman perkebunan meliputi 3 (tiga) alasan yaitu alasan teknis, alasan social, dan alas an ekonomi. Alasan teknis sebesar 77,50%, alasan social sebesar 80% dan alasan ekonomi sebesar 90%.
2.      Faktor-faktor yang berpengaruh secara nyata terhadap keputusan petani untuk beralih fungsi lahan sawah ke tanaman perkebunan  adalah tingkat pendidikan formal, luas lahan, respon petani terhadap dinamika pasar, aksesibilitas lahan sawah terhadap irigasi kuarter . Sedangkan tingkat ketersediaan tenaga kerja keluarga, pengalaman usahatani, pendapatan usahatani tidak  berpengaruh secara nyata terhadap keputusan petani untuk melakukan alih fungsi lahanpertanian sawah ke tanaman perkebunan.
3.      Alih fungsi lahan pertanian sawah ke tanaman perkebunan akan berdampak terhadap ketersediaan (produksi) pangan khususnya beras khususnya di wilayah Kecamatan Padang Jaya.

            Saran
1.      Berdasarkan beberapa alasan petani untuk melakukan alih fungsi lahan pertanian sawah ke tanaman perkebunan, persentase alasan paling tinggi adalah karena alasan ekonomi sebesar 90%. Jadi, disarankan kepada pemerintah daerah khususnya Kabupaten Bengkulu Utara jika ingin memprogramkan pengembangan tanaman perkebunan hendaknya memperhatikan alasan-alasan ekonomi terlebih dahulu baru alasan-alasan lainnya.
2.      Petani yang beralih fungsi lahan sawah ke tanaman perkebunan hendaknya sudah mempertimbangkan studi kelayakan lahan yang dimilikinya apakah lahan tersebut  cocok untuk tanaman perkebunan atau tidak. Karena apabila melakukan alih fungsi lahan sawah akan berakibat terjadinya penurunan produksi padi (beras).
3.      Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkulu Utara harus lebih fokus dalam menjaga agar air irigasi tetap lancar dan tersedia bagi usahatani sawah, untuk itu perlu dukungan nyata oleh ara petani dan pengguna air irigasi lainnya didalam menjaga dan memelihara jaringan irigasi terutama di tingkat usaha tani.
4.      Perlu dibuat aturan yang jelas terhadap alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lainnya, hal ini karena akan berdampak terhadap kurangnya ketersediaan pangan di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA
Ariani, M.  2003.  Dinamika konsumsi beras rumah tangga dan kaitannya dengan diversifikasi konsumsi pangan.  Makalah disampaikan pada Seminar  Nasional  “Peluang Indonesia untuk Mencukupi Kebutuhan Beras” tanggal 2 Oktober  2003 di Bogor.  Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian,  Badan Litbang Departemen             Pertanian.  Bogor.
BPS.1989 - 2001.  Statistik nilai tukar petani di Indonesia 1997 – 2000.  Badan Pusat Statistik.  Jakarta.
BPS. 1991-2001.  Neraca bahan makanan Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta.
BPS. 1999 dan 2001.  Pendapatan domestik regional bruto provinsi-Provinsi di Indonesia menurut lapangan usaha.  Badan Pusat Statistik.  Jakarta.
Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bengkulu Utara. 2007.  Buku statistik padi dan palawija Kabupaten Bengkulu Utara tahun 2006. Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bengkulu Utara. Arga Makmur.
Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bengkulu Utara. 2008.  Buku statistik padi dan palawija Kabupaten Bengkulu Utara tahun 2007. Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bengkulu Utara. Arga Makmur.
Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bengkulu Utara. 2009.  Buku statistik padi dan palawija Kabupaten Bengkulu utara Tahun 2008. Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bengkulu Utara. Arga Makmur.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air. 2009. Pedoman teknis rehabiitasi jaringan irigasi desa (JIDES) dan jaringan irigasi tingkat usahatani (JITUT). Departemen Pertanian. Jakarta.
Gujarati, D. 1988.  Ekonometrika dasar. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Irawan, B. dan S. Friyatno.  2002.  Dampak konversi lahan sawah di Jawa  terhadap produksi beras dan kebijakan pengendaliannya.  Jurnal Sosial-Ekonomi Pertanian dan Agribisnis.  SOCA: 2(2) :  79-95. 
Jamal, E.  2001.  Faktor-Faktor yang mempengaruhi pembentukan harga lahan sawah pada proses alih fungsi lahan ke penggunaan non pertanian:  studi kasus di beberapa Desa, Kabupaten Karawang, Jawa Barat.  Jurnal Agro Ekonomi 19 (1) : 45-63. 
Manan, H, 2007. Teknologi pengelolaan lahan dan air mendukung ketahanan pangan. Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air Departemen Pertanian. Jakarta.
Nasoetion, L. dan J. Winoto.  1996.  Masalah alih fungsi lahan pertanian dan dampaknya terhadap keberlangsungan swasembada pangan.  Dalam Prosiding Lokakarya “Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air”: Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Beras.   Hasil Kerja sama Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan Ford Foundation.  Bogor.
Rasahan, C.A. 1999.  Kebijakan pembangunan pertanian untuk mencapai ketahanan pangan dalam tonggak kemajuan produksi tanaman pangan; Konsep dan strategi peningkatan produksi pangan. Pusat Penelitian Tanaman Pangan.  Bogor.
Ridwan dan Akon. 2009.  Rumus dan data dalam analisis statistika untuk penelitian (administrasi pendidikan – bisnis – pemerintah – sosial – kebijakan – ekonomi – hukum – manajemen – kesehatan). Penerbit Alfabeta. Bandung.
Rukka, H., Buhaerah, dan Sunaryo. 2006. Hubungan karaktersitik petani dengan respon petani terhadap penggunaan pupuk organik pada tanaman padi sawah (Oriza sativa L). Jurnal Agroekosistem 2(1) : 23-31.
Sihaloho, M. 2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sumaryanto, Hermanto, dan E. Pasandaran.  1996.  Dampak alih fungsi lahan sawah terhadap pelestarian swasembada beras dan sosial ekonomi petani.  Dalam Prosiding Lokakarya “Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air”: Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Beras.   Hasil Kerja sama Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan Ford Foundation.  Bogor.
Sumaryanto. 2007. Identifikasi faktor-faktor yang kondusif untuk merintis pengelolaan irigasi di tingkat tertier yang lebih produktif dan berkelanjutan. Jurnal Argo Ekonomi 25 (2) : 148-177.
Suwarno, P.S.  1996.  Alih fungsi tanah pertanian dan langkah-langkah penanggulangannya. Dalam Prosiding Lokakarya “Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air”: Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Beras.   Hasil Kerja sama Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan Ford Foundation.  Bogor.
Syafa’at, N., W. Sudana, N. Ilham, H. Supriyadi dan R. Hendayana.  2001.  Kajian penyebab penurunan produksi padi tahun 2001 di Indonesia.  Laporan Hasil Penelitian:  Analisis Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian Respon terhadap Issu Aktual.  Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian Pertanian, Departemen Pertanian.  Bogor.
Syaukat, Y.  2003.  Ekonomi sumberdaya & lingkungan lanjutan:  ekonomi sumberdaya lahan. bahan kuliah.  Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.  Bogor. 33 p.
Utomo, M., E. Rifai, dan A.Thahir. 1992. Pembangunan dan alih fungsi lahan. Universitas Lampung. Lampung.