Sabtu, 29 September 2012

KPDPP


KEBIJAKAN PUBLIK DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PEDESAAN
Suatu diskusi panel bertopik “Isyu dan Agenda Kebijakan Publik dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan” telah diadakan di Bogor, tanggal 13 Februari 2003 lalu, atas kerjasama UNSFIR, Jakarta (United Nations Support Facility for Indonesia Recovery) dan Pusat Studi Pembangunan, Institut Pertanian Bogor (IPB). Panel itu menampilkan dua orang ekonom, Dr. Hermanto Siregar dari Fak. Pertanian dan Prof. Dr. Tridoyo dari Fak. Perikanan/Kelautan, dan seorang pakar Hama/Penyakit Pertanian, Dr. Damayanti Buchori yang punya pengalaman dalam bekerjasama dengan LSM dalam mendampingi petani.
Isyu yang dibahas oleh ekonom tersebut pertama adalah hal “nilai tukar pertanian” berdasar data BPS dalam masa 1981-2000 disimpulkan bahwa nilai tukar pertanian (secara keseluruhan) menunjukkan garis menurun. Sempat dirujuk data yang membanding Indonesia bagian Barat (menurun) dibanding dengan Indonesia bagian Timur (khususnya Sulawesi dan Kalimantan) yang mengalami peningkatan, dimana diduga petani punya akses ekspor yang sedang membaik. Dalam pada itu nilai tukar “net barter” bagi petani (proxy pengukur tingkat kesejahteraan petani) umumnya tak menunjukkan perkembangan negatif. Agenda yang dianjurkan: perlu suatu program pembangunan sistematis, tak cukup suatu program “bantuan darurat” jangka pendek. Dari model yang dipakai, jelas bahwa ekspor pertanian Indonesia ditentukan oleh “supply”, dimana upaya mengatasi kendala dalam “supply” itu (mencakup peningkatan tehnologi) yang dapat menurunkan biaya produksi mesti diusahakan. Ada lagi suatu pengamatan bahwa nilai tukar nyata (real) Rupiah yang cenderung stabil lebih berpengaruh “baik” bagi kesejahteraan petani; sebaliknya jika terjadi depresiasi dalam nilai Rupiah itu.
Analisa data berdasar model yang dipilih mengisi sebagian besar makalah, tapi ada rujukan singkat yang menarik data dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia (SNSE atau SAM “social accounting matriks” merujuk terbitan BPS, data tahun 1995 dibanding 1999) karena mengandung pengertian lebih mendalam untuk pembaca yang mengartikan “kesejahteraan” petani dan lain golongan penduduk, mencakup hal sebaliknya yaitu “ke-tidak-sejahteraan” atau “kemiskinan”! Apa lagi membanding SNSE tahun 1995 dan 1999 berarti membanding kondisi “sebelum” dan “sesudah” Krismon! SNSE adalah suatu “konstruk” yang dibuat ekonom untuk meneropong perkembangan pola pencarian nafkah antar golongan (satuan rumahtangga) yaitu:
(a)       dalam pertanian dibedakan antara buruhtani, petani gurem (kurang 0,5 ha), petani (0,5-1,0 ha) dan petani lebih 1,0 ha.
(b)       di luar pertanian dibedakan antara rumahtangga pedesaan (dibagi atas “penghasilan rendah”, penghasilan “tinggi” dan “bukan pencari nafkah” (‘non-labor force”). Rumahtangga kota dibagi atas tiga sub-golongan serupa. (Catatan: dalam acuan yang lebih rinci, golongan “luar pertanian” dibagi sesuai sistematika golongan “pencari nafkah”, mengikuti model rujukan PBB).
Pemerintah Akan Kaji Pembangunan Pertanian
Jakarta | Mon 28 Jun 2010 20:15:09
PEMERINTAH pusat akan menggelar retreat untuk mengkaji
pembangunan pertanian yang melibatkan lintas sektor.
Menteri Pertanian Suswono mengatakan, retreat akan
dilakukan pada 3 Juli mendatang dengan membahas tiga
persoalan utama dalam pembangunan pertanian yakni
penelitian dan pengembangan, penyuluhan serta irigasi.
Menurutnya, pembahasan mengenai penelitian dan pengembangan
diperlukan karena anggaran Indonesia di dua hal tersebut
tergolong yang terendah di Asia. Jumlah anggaran di
kementerian pertanian untuk penelitian dan pengembangan
hanya sebesar Rp600 miliar atau kurang dari 10
persen.
Ia mengatakan, persoalan penelitian dan pengembangan
pertanian ini harus diselesaikan lintas sektor. "Jadi ini yang
nanti akan diintegrasikan," kata Suswono
usai mengikuti rapat anggaran pertanian dan irigasi di
Kantor Wakil Presiden, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat,
Senin (28/6).
Selain menyorot masalah penelitian, retreat pembangunan
pertanian juga akan membahas masalah penyuluhan. Karena
menurutnya, keberhasilan pembangunan pertanian di waktu
lalu didukung dengan penyuluhan, baik sektor anggaran
maupun sumber daya manusia. Dengan demikian peran
penyuluhan harus dioptimalkan.
Persoalan irigasi juga akan turut dibahas karena dalam
waktu lima tahun ke depan pemerintah akan membangun 500
ribu hektar lahan teknis baru yang teririgasi.
Suswono mengatakan retreat bertujuan menciptakan
keberhasilan pembangunan pertanian yang berkelanjutan.
Karena swasembada pangan yang telah dicapai saat ini masih
rentan.
"Sebab sesungguhnya walaupun kita sekarang tercapai
katakanlah swasembada pangan, misal beras yang saat ini
tercapai, ini sesungguhnya masih rentan," katanya.
Perencanaan pembangunan pertanian, katanya, juga bertujuan
meningkatkan kesejahteraan petani.
"Petani sebetulnya ini adalah termasuk kelompok orang
miskin, sebagian besar karena penerima beras miskin 60
persen adalah petani," katanya lagi.
Kemiskinan yang dialami petani diantaranya disebabkan
lahan yang dikuasai petani sempit. Suswono mengatakan
sekitar 9,5 juta petani di Indonesia hanya menguasai lahan
kurang dari 0,5 hektar.
"Rata-rata banyak yang 0,2 hektar atau 0,3 hektar, tentu
saja ini tidak mungkin menjadikan dia sejahtera," katanya.
Penyempitan lahan ini disebabkan konversi lahan, utamanya
di Jawa seperti untuk perumahan, industri, dan jalan.
Ia mengatakan,selama ini rata-rata sekitar 100.000 hektar per tahun
terkonversi, sementara kemampuan mencetak sawah baru tidak
lebih dari 30.000 hektar. Rizky Andriati Pohan


















PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN
DALAM KONTEKS GLOBALISASI DAN
DEMOKRATISASI EKONOMI

Tejoyuwono Notohaprawiro
Fakultas Pertanian UGM



Penelitian Pertanian
Masih banyak data-kunci untuk
mendukung pertanian berkelanjutan
belum tersedia. Ada data yang kita
miliki tidak cocok untuk merancang
pembangunan pertanian menurut
paradigma baru yang tersirat dalam
ungkapan "intensifikasi berkelanjutan".
Selain daripada itu dalam
mengumpulkan data kita biasa
mengikuti cerapan (perception) guruguru
kiata yang berasal dari kawasan
beriklim sedang dan masyarakat yang
sudah berfaham industrialisme.
Pertanian dalam lingkungan
tropika menghadapi kendala yang
berbeda dengan yang dihadapi di
kawasan beriklim sedang sehubungan
dengan lingkungan biofisik dan
kelembagaan yang berbeda secara
murad (significant). Di samping ini
dunia ketiga memperlihatkan
keanekaan lingkungan dan budaya luar
biasa. Ini semua berpengaruh atas
kebutuhan penelitian tanah dan air.
Enam bidang besar yang pantas
diberi prioritas perhatian ialah : (1)
menghilangkan kendala kelembagaan
dalam konservasi sumberdaya, (2)
memajukan proses hayati tanah, (3)
mengelola sifat-sifat tanah, (4)
memperbaiki pengelolaan sumberdaya
air, (5) menyelaraskan pertanaman
pada lingkungan, dan (6) memasukkan
secara efektif matra sosial dan budaya
dalam penelitian. Menggunakan secara
lebih baik pengetahuan tradisional dan
membangun komunikasi yang diperbaiki
dapat memajukan implementasi
kesudahan penelitian (Anon., 1991).
Dua indikator penting kerusakan sistem
pertanian ialah penurunan mutu tanah
dan air. Pada gilirannya penurunan
mutu tanah dan air menyebabkan
penurunan produktivitas usahatani.
Penurunan mutu adalah akibat dari
pengelolaan sumberdaya tanah dan air
yang buruk. Menurut data tahun 1984,
Notohadiprawiro. Pembangunan pertanian berkelanjutan 139
kerusakan lingkungan di Indonesia
terutama ditimbulkan oleh erosi tanah
dan perambahan hutan yang biaya
tahunannya sebagai pangsa produk
nasional kotor (PNK) ditaksir Bank
Dunia sebesar 4,0 % (Brown, 1995).
Menghabisi modal alam-hutan, padang
penggembalaan, lapisan atas tanah,
akuifer dalam bumi, dan tandon ikan -
dan pencemaran udara dan air telah
mencapai tataran di banyak negara
yang dampak ekonominya mulai tampak
sangat nyata berupa hilangnya hasilan,
pekerjaan, dan ekspor bahkan di
beberapa negara telah mematikan
industri secara menyeluruh (Brown,
1995).

Beberapa ciri yang membuat
lingkungan tropika terutama menantang
untuk diteliti bagi keterlanjutan
pertanian ialah (Anon., 1991)
1) Ketiadaan musim dingin atau jalad
(frost) yang di kawasan iklim lain
membuat jeda dalam produksi, jadi
mengendalikan serangan hama dan
penyakit serta aras kelembapan.
2) Jadwal dan lama waktu pasokan air
yang berubah-ubah, baik di wilayah
kering maupun basah yang
menciptakan cekaman lengas berat.
3) Musim tumbuh sepanjang tahun di
beberapa daerah basah yang
berpengaruh atas pertanaman dan
hama serta penyakit, dan
mempercepat pelindian hara.
4) Keanekaan hayati yang lebih besar
daripada lingkungan beriklim
sedang berarti keanekaan
pertanaman, organisme tanah, dan
haam/penyakit yang lebih besar.
5) Tanah telah mengalami pelapukan
jauh, akan tetapi di beberapa
tempat tanahnya masih sangat
muda.
6) Kekurangan bahan bakar fosil dan
masukan padat-modal lainnya.
7) Perbedaan murad dalam konteks
dan tradisi sosial dan kelembagaan.
Seabad yang lalu menghasilkan
lebih banyak pangan memerlukan
perluasan lahan budidaya, sehingga
lahan merupakan sumberdaya pertanian
utama. Sejak pertengahan abad ini
kepentingan nisbi lahan berkurang
karena masukan pertanian - pupuk,
mekanisasi, pestisida, irigasi, dan bibit
unggul - menyumbang murad kepada
penaikan produksi pangan. Jadi
sebagian kepentingan lahan disulih oleh
kepentingan teknologi. Namun sekarang
kepentingan lahan kembali mencuat
sehubungan dengan hasilpanen yang
meladung (stagnating yields) karena
tanggapan terhadap penyerapan pupuk
makin berkurang, bersamaan dengan
kebutuhan pangan yang terus
meningkat dan lahan pertanian yang
berpindah ke penggunaan bukanpertanain
makin luas. Menurut laporan
USDA Jawa kehilangan hampir 20.000
ha lahan pertanian tiap tahun akibat
pemekaran kota. Luas ini mampu
menghasilkan beras cukup untuk
378.000 orang tiap tahun. Keadaan
bertambah buruk lagi karena
pemekaran kota sering menyita lahan
pertanian yang terbaik (Gardner, 1996),
bahkan kadang-kadang yang sudah
dilengkapi dengan prasarana produksi,
transportasi, dan komunikasi.
Akibatnya, lahan menjadi sumberdaya
pertanian yang nilainya terus meningkat
sehubungan dengan penawaran yang
terus menyusut padahal permintaan
terus meningkat.
Menurut pengertian PBB,
indikator lahan pertanian yang
terdegradasi ialah kerusakan fungsi
hayati asli, yaitu kapasitasnya
mengubah hara menjadi bentuk yang
dapat digunakan tumbuhan (Gardner,
1996). Dengan pengertian ini penelitian
kesuburan tanah perlu diberi konsep
baru yang lebih mengedepankan sifatsifat
hayati tanah daripada penelitian
konvensional yang mementingkan sifatsifat
fisik dan kimia. Karena menyangkut
kehidupan hayati tanah (edafon)
istilah kesuburan tanah sebaiknya
diubah menjadi kesehatan tanah.
Semula degradasi tanah tidak
melambatkan pertumbuhan hasilpanen
karena takaran pupuk yang diberikan
masih dapat mengimbali (compensate)
kehilangan hara karena erosi, pelindian,
atau ekspor liwat hasil yang dipanen.
Makin meningkat degradasi tanah,
pemupukan tidak lagi sanggup
mengimbali kehilangan hara. Di
samping itu pupuk kimia konvensional
tidak dapat memasok bahan-bahan
penyehat tanah seperti bahan organik,
edafon, air, dan hara sekunder, padahal
Notohadiprawiro. Pembangunan pertanian berkelanjutan 141
salingtindak (interaction) bahan-bahan
tersebut menciptakan lingkungan
pendukung yang diperlukan tanaman.
Revolusi hijau padi yang di Indonesia
hanya dapat bertahan 10 tahun
membuktikan hal itu secara nyata.
Ketidak-tangguhan penelitian
pertanian disebabkan karena faktorfaktor
berikut (Anon., 1991).
1) Masih ada rumpang-rumpang
(gaps) besar di dalam pemahaman
kita tentang sistem dan proses
tanah dan air.
2) Rumpang yang lebih penting ialah
antara apa yang diketahui dan apa
yang diterapkan (kelemahan
informasi dan komunikasi).
3) Pengetahuan pribumi jarang sekali
dihargai, padahal pengetahuan
tersebut sering dapat mengajukan
saran tentang penelitian yang
memberi harapan atas komponen
dan strategi ekosistem, misalnya
pohon penambat nitrogen, spesies
pengumpul hara, dan teknik irigasi
masukan rendah. Dalam beberapa
kasus pengetahuan pribumi dapat
menyediakan mimbar bagi
pemaduan teknologi tradisional
dengan yang baru.
4) Diperlukan kaitan lebih efektif
antara aspek sosial dan ilmu
kealaman pada persoalan tanah dan
air. Konteks sosial dan ekonomi
menciptakan kendala yang dapat
membatasi secara efektif penerapan
perbaikan teknik kecuali konteks
semacam itu difahami dan ditangani
secukupnya.
5) Diperlukan cara-cara lebih efektif
dalam menggunakan sumberdaya
penelitian dengan sasaran jangka
panjang dan praktis. Perlu
dimapankan umpan-balik dan
komunikasi yang lebih baik antara
lapangan dan lembaga penelitian,
sehingga penelitian dapat
dipusatkan pada persoalan nyata
dan praktis.
6) Segi terlemah dalam proses
penelitian adalah penyebar-luasan
penemuan penelitian ke tingkat
usahatani atau regional yang
berkeanekaan besar dalam hal fisik
dan manusia.
Tanah dan air menyajikan
landasan tempat pertanian bertumpu.
Akan tetapi sistem produksi pertanian
yang berhasil memerlukan kombinasi
sumberdaya hayati dan kemasyarakatan.
Fakta ini merupakan
gabungan berbagai variabel yang rumit
dan dinamis yang membuat sistem
pertanian berwatak evolusioner.
Mengingat hal ini prioritas penelitian
harus selalu ditinjau ulang dan secara
berkala diselaraskan agar dapat
menangani persoalan yang dihadapi.
Prioritas penelitian perlu dipertahankan
kesegarannya, kelenturannya, dan daya
tanggapnya terhadap kebutuhan kini.
Untuk membangun
keterlanjutan sistem pertanian dan
pengelolaan sumberdaya kita diperlukan
perubahan dalam
1) Filsafat dan tata kerja organisasi
pembangunan.
2) Konsep pencapaian tujuan yang
secara tradisional menggunakan
hampiran penyelesaian persoalan
(problem-solving approach) diubah
menjadi hampiran optimasi
(optimizing approach) agar memiliki
prospek jangka panjang.

MEMAHAMI DAN MENGKRITISI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN
PERTANIAN DI INDONESIA
Subejo
”Kebijakan pembangunan ekonomi di Indonesia mestinya difokuskan pada sektor yang menghidupi
mayoritas penduduk yaitu penduduk yang ada di pedesaan dengan profesi sebagai petani.
Pengembangan industri mestinya juga difokuskan pada aktivitas yang memiliki keterkaitan dengan
kepentingan mayoritas” (Joseph E. Stighlitz, 20043)
Arti Penting Pembangunan Pertanian
Sebagaimana telah dipahami bersama oleh berbagai kalangan, pembangunan
pertanian memiliki arti yang sangat strategis, tidak hanya bagi negara-negara berkembang,
bagi negara maju pun pertanian tetap mendapat perhatian dan perlindungan yang sangat serius
(kasus EU, Amerika, Australia, Jepang, dll). Membahas pertanian adalah membahas
1 Naskah publikasi ini telah disajikan sebagai makalah ilmiah pada Temu Nasional Mahasiswa Pertanian
Indonesia/Latihan Kepemimpinan dan Manajemen Mahasiswa (LKMM), Dewan Mahasiswa Fakultas Pertanian
UGM, Yogyakarta 15 Februari 2007
2 Staf pengajar PS. Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian
UGM; professional membership pada Agricultural Extension and Research Network (AgREN) UK, e-mail
address: Subejo@Lycos.com
3 Gagasan utama yang disampaikan oleh nobel lauret in economics Joseph E. Stighlitz pada general lecturer
dalam rangka kajian analisis kebijakan ekonomi Indonesia yang diadakan oleh ISEI di Jakarta 14 Desember 2004
tentang ”kelangsungan hidup”, pertanian adalah penyedia bahan pangan, bahan sandang dan
bahkan bahan papan. Selama manusia di dunia masih memerlukan bahan pangan untuk
menjamin kelangsungan hidupnya maka pertanian tetap akan memegang perang yang sangat
penting. Meskipun dalam kenyataanya, persepsi akan arti penting pertanian kadang-kadang
dilupakan oleh banyak orang.
Secara garis besar, pertanian memberikan kontribusi yang penting bagi negara antara
lain melalui perananya dalam hal: (1) penyedia bahan pangan, (2) penyedia lapangan kerja,
(3) penyedia bahan baku bagi industri, (4) sumber devisa, dan (4) penjaga kelestarian
lingkungan (konservasi lahan, mencegah banjir, penyedia udara yang sehat serta amenity).
Terkait dengan kontribusi pertanian pada ekonomi nasional di Indonesia, meskipun
kontribusinya dalam hal share pada PDRB dan penyedia lapangan kerja cenderung menurun,
namun pertanian tetap memberikan peran yang signifikan. Pada tahun 1961, pertanian masih
menyumbang 51,8% PDRB dan terus mengalami penurunan, tahun 1995 pertanian masih
menyumbang 17,2% PDRB. Jika ditinjau dari jumlah tenaga kerja yang diserap, pertanian
masih sangat penting kontribusinya, pada tahun 1995, jumlah tenaga kerja yang bekerja di
sektor pertanian 44% dari seluruh angakatan kerja di Indonesia.
Peluang pengembangan pertanian serta arti penting pertanian seperti yang dilaporkan
oleh Yudohusodo (2006) adalah adanya fakta bahwa Indonesia memiliki potensi produksi
pertanian tropis yang sangat besar dan memiliki potensi pasar pangan yang sangat besar pula
yang ditunjukkan oleh pertumbuhan penduduk nasional yang signifikan yaitu 200 juta jiwa di
tahun 2000 dan diperkirakan mencapai 400 juta jiwa pada tahun 2040. Potensi pertanian
Indonesia dengan segala keterbatasannya sebenarnya memiliki kedudukan yang cukup baik di
kancah internasional. Seperti dilansir ole The Economics dalam The world in figures,
Indonesia adalah penghasil biji-bijian nomor 6 di dunia, penghasil beras nomor 3 setelah
China dan India, penghasil kopi nomor 4, penghasil coklat nomor 2 setelah Pantai Gading dan
Ghana, penghasil lada putih nomor 3, penghasil karet alam nomor 4, penghasil cengkeh
nomor 1 serta penghasil sawit nomor 2 (diprediksi 5 tahun ke depan akan menempati nomor 1
dengan melampaui Malaysia).
Data statistik juga menujukkan bahwa secara nasional, kita masih mengalami
kekurangan produksi pertanian. Untuk mencukupi kebutuhan pangan, kita masih melakukan
impor beberapa komoditas pangan. Hal ini secara rinci dilaporkan dalam Susenas dan berita
resmi statistik 2003 seperti dianalis oleh Darmawan dan Masroh (2004) yang melaporkan
bahwa selama tahun 2003 kita masih impor beras, gula, kedelai, gandum, jagung, ternak sapi,
tepung telur, susu bubuk, makanan olahan, garam, singkong dan kacang tanah.
Kekurangan produksi tersebut, semestinya menjadi peluang karena Indonesia memiliki
potensi pertanian tropik yang sangat besar. Semangat dan tekad untuk menjadi bangsa yang
mandiri perlu dibangun sehingga solusi untuk menyelesaikan problem tersebut adalah bukan
impor namun dapat memacu dan pengoptimalkan produksi. pertanian nasional mestinya bisa
memproduksi dengan biaya yang lebih murah, dapat menghemat devisa serta menyediakan
lapangan kerja yang sangat banyak. Dalam hal produk pertanian tropik, Indonesia sebenarnya
berpotensi tidak hanya swasembada namun juga menjadi eksportir.
Optimisme tentang prospek produksi pertanian ke depan sangat didukung dengan
potensi lahan pertanian yang ada. Indonesia masih memiliki potensi lahan pertanian yang
cukup besar. Sampai dengan tahun 2001, menurut data BPN seperti yang dilaporkan Syahyuti
(2006), total lahan pertanian yang sudah dikelola sebesar 36,3 juta ha dengan proporsi
terbesar di Sumatera (15,2 juta ha) dan Jawa (7,7 juta ha). Luas kawasan yang dapat
dipergunakan untuk pertanian 123,4 juta ha dengan proporsi terbesar di Kalimantan (38,8 juta
ha), Sumatera (30,4 juta ha) dan Irian Jaya (23,6 juta ha). Areal yang yang masih tersisa yang
dapat dipergunakan untuk lahan pertanian adalah 87,1 juta ha dengan proporsi terbesar di
Kalimantan (34,2 juta ha), Irian Jaya (20,58 juta ha) dan Sumatera (15,2 juta ha).