Minggu, 25 Maret 2012

kalimat aktif


BAB I
PENDAHULUAN

Bahasa adalah alat untuk berkomunikasi yang digunakan manusia dengan sesama anggota masyarakat lain pemakai bahasa itu. Bahasa itu berisi pikiran, keinginan, atau perasaan yang ada pada diri si pembicara atau penulis. Bahasa yang digunakan itu hendaklah dapat mendukung maksud secara jelas agar apa yang dipikirkan, diinginkan, atau dirasakan itu dapat diterima oleh pendengar atau pembaca. Kalimat yang dapat mencapai sasarannya secara baik disebut dengan kalimat efektif.
Kalimat efektif adalah kalimat yang dapat mengungkapkan gagasan pemakainya secara tepat dan dapat dipahami oleh pendengar/pembaca secara tepat pula. Kalau gagasan yang disampaikan sudah tepat, pendengar/pembaca dapat memahami pikiran tersebut dengan mudah, jelas, dan lengkap seperti apa yang dimaksud oleh penulis atau pembicaranya. Akan tetapi, kadang-kadang harapan itu tidak tercapai. Misalnya, ada sebagian lawan bicara atau pembaca tidak memahami apa maksud yang diucapkan atau yang dituliskan.
Supaya kalimat yang dibuat dapat mengungkapkan gagasan pemakainya secara tepat, unsur kalimat-kalimat yang digunakan harus lengkap dan eksplisit. Artinya, unsur-unsur kalimat seharusnya ada yang tidak boleh dihilangkan. Sebaliknya, unsur-unsur yang seharusnya tidak ada tidak perlu dimunculkan. Kelengkapan dan keeksplisitan semacam itu dapat diukur berdasarkan keperluan komunikasi dan kesesuaiannya dengan kaidah (Mustakim, 1994:86).
Dalam karangan ilmiah sering kita jumpai kalimat-kalimat yang tidak memenuhi syarat sebagai bahasa ilmiah. Hal ini disebabkan oleh, antara lain, mungkin kalimat-kalimat yang dituliskan kabur, kacau, tidak logis, atau bertele-tele. Dengan adanya kenyataan itu, pembaca sukar mengerti maksud kalimat yang kita sampaikan karena kalimat tersebut tidak efektif. Berdasarkan kenyataan inilah penulis tertarik untuk membahas kalimat efektif dengan segala permasalahannya.

BAB II
PEMBAHASAN

Kalimat efektif adalah kalimat yang mengungkapkan pikiran atau gagasan yang disampaikan sehingga dapat dipahami dan dimengerti oleh orang lain.
2.1 Kalimat efektif memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
1. Secara tepat mewakili pikiran pembicara atau penulisnya.
2. Mengemukakan pemahaman yang sama tepatnya antara pikiran pendengar atau pembaca dengan yang dipikirkan pembaca atau penulisnya.
Sebuah kalimat efektif mempunyai ciri-ciri khas, yaitu kesepadanan struktur, keparalelan bentuk, ketegasan makna, kehematan kata, kecermatan penalaran, kepaduan gagasan, dan kelogisan bahasa.

A. Kesepadanan

Yang dimaksud dengan kesepadanan ialah keseimbangan antara pikiran (gagasan) dan struktur bahasa yang dipakai. Kesepadanan kalimat ini diperlihatkan oleh kesatuan gagasan yang kompak dan kepaduan pikiran yang baik.

Kesepadanan kalimat itu memiliki beberapa ciri, seperti tercantum di bawah ini:

1. Kalimat itu mempunyai subjek dan predikat dengan jelas. Ketidakjelasan subjek atau predikat suatu kalimat tentu saja membuat kalimat itu tidak efektif. Kejelasan subjek dan predikat suatu kalimat dapat dilakukan dengan menghindarkan pemakaian kata depan di, dalam bagi untuk, pada, sebagai, tentang, mengenai, menurut, dan sebagainya di depan subjek.
Contoh:
a. Bagi semua mahasiswa perguruan tinggi ini harus membayar uang kuliah. (Salah)
b. Semua mahasiswa perguruan tinggi ini harus membayar uang kuliah. (Benar)

2. Tidak terdapat subjek yang ganda.
Contoh:
a. Penyusunan laporan itu saya dibantu oleh para dosen.
b. Saat itu saya kurang jelas.
Kalimat-kalimat itu dapat diperbaiki dengan cara berikut :
a. Dalam menyusun laporan itu, saya dibantu oleh para dosen.
b. Saat itu bagi saya kurang jelas.

3. Kalimat penghubung intrakalimat tidak dipakai pada kalimat tunggal.
Contoh:
a. Kami datang agak terlambat. Sehingga kami tidak dapat mengikuti acara pertama.
b. Kakaknya membeli sepeda motor Honda. Sedangkan dia membeli sepeda motor Suzuki.
Perbaikan kalimat-kalimat ini dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, ubahlah kalimat itu menjadi kalimat majemuk dan kedua gantilah ungkapan penghubung intrakalimat menjadi ungkapan penghubung antarkalimat, sebagai berikut:
a. Kami datang agak terlambat sehingga kami tidak dapat mengikuti acara pertama. Atau
Kami datang terlambat. Oleh karena itu, kami tidak dapat mengikuti acara pertama.
b. Kakaknya membeli sepeda motor Honda, sedangkan dia membeli sepeda motor Suzuki.
Atau
Kakaknya membeli sepeda motor Honda. Akan tetapi, dia membeli sepeda motor Suzuki.

4. Predikat kalimat tidak didahului oleh kata yang.
Contoh:
a. Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu.
b. Sekolah kami yang terletak di depan bioskop Gunting.
Perbaikannya adalah sebagai berikut:
a. Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu.
b. Sekolah kami terletak di depan bioskop Gunting.

B. Keparalelan

Yang dimaksud dengan keparalelan adalah kesamaan bentuk kata yang digunakan dalam kalimat itu. Artinya, kalau bentuk pertama menggunakan nomina. Kalau bentuk pertama menggunakan verba, bentuk kedua juga menggunakan verba.

Contoh:
a. Harga minyak dibekukan atau kenaikan secara luwes.
b. Tahap terakhir penyelesaian gedung itu adalah kegiatan pengecatan tembok, memasang penerangan, pengujian sistem pembagian air, dan pengaturan tata ruang.

Kalimat a tidak mempunyai kesejajaran karena dua bentuk kata yang mewakili predikat terdiri dari bentuk yang berbeda, yaitu dibekukan dan kenaikan. Kalimat itu dapat diperbaiki dengan cara menyejajarkan kedua bentuk itu.
Harga minyak dibekukan atau dinaikkan secara luwes.

Kalimat b tidak memiliki kesejajaran karena kata yang menduduki predikat tidak sama bentuknya, yaitu kata pengecatan, memasang,pengujian, dan pengaturan. Kalimat itu akan baik kalau diubah menjadi predikat yang nomial, sebagai berikut.

Tahap terakhir penyelesaian gedung itu adalah kegiatan pengecatan tembok, pemasangan penerangan, pengujian sistem pembagian air, dan pengaturan tata ruang.

C. Ketegasan

Yang dimaksud dengan ketegasan atau penekanan ialah suatu perlakuan penonjolan pada ide pokok kalimat. Dalam sebuah kalimat ada ide yang perlu ditonjolkan. Kalimat itu memberi penekanan atau penegasan pada penonjolan itu. Ada berbagai cara untuk membentuk penekanan dalam kalimat.

1. Meletakkan kata yang ditonjolkan itu di depan kalimat (di awal kalimat).
Contoh:
Presiden mengharapkan agar rakyat membangun bangsa dan negara ini dengan kemampuan yang ada pada dirinya.
Penekanannya ialah presiden mengharapkan.

Contoh:
Harapan presiden ialah agar rakyat membangun bangsa dan negaranya.
Penekanannya Harapan presiden.
Jadi, penekanan kalimat dapat dilakukan dengan mengubah posisi kalimat.

2. Membuat urutan kata yang bertahap
Contoh:
Bukan seribu, sejuta, atau seratus, tetapi berjuta-juta rupiah, telah disumbangkan kepada anak-anak terlantar.
Seharusnya:
Bukan seratus, seribu, atau sejuta, tetapi berjuta-juta rupiah, telah disumbangkan kepada anak-anak terlantar.

3. Melakukan pengulangan kata (repetisi).
Contoh:
Saya suka kecantikan mereka, saya suka akan kelembutan mereka.

4. Melakukan pertentangan terhadap ide yang ditonjolkan.
Contoh:
Anak itu tidak malas dan curang, tetapi rajin dan jujur.

5. Mempergunakan partikel penekanan (penegasan).
Contoh:
Saudaralah yang bertanggung jawab.

D. Kehematan

Yang dimaksud dengan kehematan dalam kalimat efektif adalah hemat mempergunakan kata, frasa, atau bentuk lain yang dianggap tidak perlu. Kehematan tidak berarti harus menghilangkan kata-kata yang dapat menambah kejelasan kalimat. Peghematan di sini mempunyai arti penghematan terhadap kata yang memang tidak diperlukan, sejauh tidak menyalahi kaidah tata bahasa.

Ada beberapa kriteria yang perlu diperhatikan.
1. Penghematan dapat dilakukan dengan cara menghilangkan pengulangan subjek.
Perhatikan contoh:
a. Karena ia tidak diundang, dia tidak datang ke tempat itu.
b. Hadirin serentak berdiri setelah mereka mengetahui bahwa presiden datang.

Perbaikan kalimat itu adalah sebagai berikut.
a. Karena tidak diundang, dia tidak datang ke tempat itu.
b. Hadirin serentak berdiri setelah mengetahui bahwa presiden datang.

2. Penghematan dapat dilakukan dengan cara menghindarkan pemakaian superordinat pada hiponimi kata.
Perhatikan:
a. Ia memakai baju warna merah.
b. Di mana engkau menangkap burung pipit itu?
Kata merah sudah mencakupi kata warna.
Kata pipit sudah mencakupi kata burung.

Kalimat itu dapat diubah menjadi
a. Ia memakai baju merah.
b. Di mana engkau menangkap pipit itu?

3. Penghematan dapat dilakukan dengan cara menghindarkan kesinoniman dalam satu kalimat.
Perhatikan kalimat-kalimat di bawah ini.
a. Dia hanya membawa badannya saja.
b. Sejak dari pagi dia bermenung.
Kata naik bersinonim dengan ke atas.
Kata turun bersinonim dengan ke bawah.

Kalimat ini dapat diperbaiki menjadi
a. Dia hanya membawa badannya.
b. Sejak pagi dia bermenung.

4. Penghematan dapat dilakukan dengan cara tidak menjamakkan kata-kata yang berbentuk jamak.
Misalnya:
Bentuk tidak baku bentuk baku :
Para tamu-tamu para tamu.
Beberapa orang-orang beberapa orang.

E. Kecermatan

Yang dimaksud dengan cermat adalah bahwa kalimat itu tidak menimbulkan tafsiran ganda.
Dan tepat dalam pilihan kata. Perhatikan kalimat berikut.
1. Mahasiswa perguruan tinggi yang terkenal itu menerima hadiah.
2. Dia menerima uang sebanyak dua puluh lima ribuan.
Kalimat 1 memilikimakna ganda, yaitu siapa yang terkenal, mahasiswa atau perguran tinggi.
Kalimat 2 memiliki makna ganda, yaitu berapa jumlah uang, seratus ribu rupiah atau dua puluh lima ribu rupiah.

Perhatikan kalimat berikut.
Yang diceritakan menceritakan tentang putra-putri raja, para hulubalang, dan para menteri.

Kalimat ini salah pilihan katanya karena dua kata yang bertentangan, yaitu diceritakan dan menceritakan. Kalimat itu dapat diubah menjadi
Yang diceritakan ialah putra-putri raja, para hulubalang, dan para menteri.

F. Kepaduan

Yang dimaksud dengan kepaduan ialah kepaduan ialah kepaduan pernyataan dalam kalimat itu sehingga informasi yang disampaikannya tidak terpecah-pecah.

1. Kalimat yang padu tidak bertele-tele dan tidak mencerminkan cara berpikir yang tidak simetris.Oleh karena itu, kita hindari kalimat yang panjang dan bertele-tele.
Misalnya:
Kita harus dapat mengembalikan kepada kepribadian kita orang-orang kota yang telah terlanjur meninggalkan rasa kemanusiaan itu dan yang secara tidak sadar bertindak keluar dari kepribadian manusia Indonesia dari sudut kemanusiaan yang adil dan beradab.
Silahkan Anda perbaiki kalimat di atas supaya menjadi kalimat yang padu.

2. Kalimat yang padu mempergunakan pola aspek + agen + verbal secara tertib dalam kalimat-kalimat yang berpredikat pasif persona.
a. Surat itu saya sudah baca.
b. Saran yang dikemukakannya kami akan pertimbangkan.

Kalimat di atas tidak menunjukkan kepaduan sebab aspek terletak antara agen dan verbal. Seharusnya kalimat itu berbentuk
a. Surat itu sudah saya baca.
b. Saran yang dikemukakannya akan kami pertimbangkan.

3. Kalimat yang padu tidak perlu menyisipkan sebuah kata seperti daripada atau tentang antara predikat kata kerja dan objek penderita.
Perhatikan kalimat ini :
a. Mereka membicarakan daripada kehendak rakyat.
b. Makalah ini akan membahas tentang desain interior pada rumah-rumah adat.
Seharusnya:
a. Mereka membicarakan kehendak rakyat.
b. Makalah ini akan membahas desain interior pada rumah-rumah adat.

G. Kelogisan

Yang dimaksud dengan kelogisan ialah bahwa ide kalimat itu dapat diterima oleh akal dan penulisannya sesuai dengan ejaan yang berlaku.
Menurut Nazar (1991, 44:52) ketidakefektifan kalimat dikelompokkan menjadi (1) ketidaklengkapan unsur kalimat, (2) kalimat dipengaruhi bahasa Inggris, (3) kalimat mengandung makna ganda, (4) kalimat bermakna tidak logis, (5) kalimat mengandung gejala pleonasme, dan (6) kalimat dengan struktur rancu.
1. Ketidaklengkapan Unsur Kalimat
Seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya bahwa kalimat efektif harus memiliki unsur-unsur yang lengkap dan eksplisit. Untuk itu, kalimat efektif sekurang-kurangnya harus mengandung unsur subjek dan predikat. Jika salah satu unsur atau kedua unsur itu tidak terdapat dalam kalimat, tentu saja kalimat ini tidak lengkap. Adakalanya suatu kalimat membutuhkan objek dan keterangan, tetapi karena kelalaian penulis, salah satu atau kedua unsur ini terlupakan. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut.
(1) Dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif.
(2) Masalah yang dibahas dalam penenelitian ini.
(3) Untuk membuat sebuah penelitian harus menguasai metodologi penelitian.
(4) Bahasa Indonesia yang berasal dari Melayu.
(5) Dalam rapat pengurus kemarin sudah memutuskan.
(6) Sehingga masalah itu dapat diatasi dengan baik.
Kalau kita perhatikan kalimat di atas terlihat bahwa kalimat (1) tidak memiliki subjek karena didahului oleh kata depan dalam; kalimat (2) dan (4) tidak memiliki predikat hanya memiliki subjek saja; kalimat (3) tidak memiliki subjek; kalimat (5) tidak memiliki subjek dan objek; kalimat (6) tidak memiliki subjek dan predikat karena hanya terdiri atas keterangan yang merupakan anak kalimat yang berfungsi sebagai keterangan. Agar kalimat-kalimat di atas menjadi lengkap, kita harus menghilangkan bagian-bagian yang berlebih dan menambah bagian-bagian yang kurang sebagaimana terlihat pada contoh berikut.
(1a) Penelitian ini menggunakan metode deskriptif.
(1b) Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif.
(2a) Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah jenis dan makna konotasi teka-teki dalam bahasa Minangkabau.
(3a) Untuk membuat sebuah penelitian kita harus menguasai metodologi penelitian.
(4a) Bahasa Indonesia berasal dari Melayu.
(5a) Dalam rapat pengurus kemarin kita sudah memutuskan program baru.
(6a) Kita harus berusaha keras sehingga masalah itu dapat diatasi dengan baik.
2. Kalimat Dipengaruhi Bahasa Inggris
Dalam karangan ilmiah sering dijumpai pemakaian bentuk-bentuk di mana, dalam mana, di dalam mana, dari mana, dan yang mana sebagai penghubung. Menurut Ramlan (1994:35-37) penggunaan bentuk-bentuk tersebut kemungkinan besar dipengaruhi oleh bahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Bentuk di mana sejajar dengan penggunaan where, dalam mana dan di dalam mana sejajar dengan pemakaian in which, dan yang mana sejajar dengan which. Dikatakan dipengaruhi oleh bahasa Inggris karena dalam bahasa Inggris bentuk-bentuk itu lazim digunakan sebagai penghubung sebagaimana terlihat pada contoh berikut.
(7) The house where he live very large.
(8) Karmila opened the album in which he had kept her new photogragraph.
(9) If I have no class, I stay at the small building from where the sound of gamelan can be heard smoothly
(10) The tourism sector which is the economical back bone of country must always be intensified.
Pemakaian bentuk-bentuk di mana, dalam mana, di dalam mana, dari mana, dan yang mana sering ditemui dalam tulisan seperti yang terlihat pada data berikut.
(11) Kantor di mana dia bekerja tidak jauh dari rumahnya.
(12) Kita akan teringat peristiwa 56 tahun yang lalu di mana waktu itu bangsa Indonesia telah berikrar.
(13) Rumah yang di depan mana terdapat kios kecil kemarin terbakar.
(14) Sektor pariwisata yang mana merupakan tulang punggung perekonomian negara
harus senantiasa ditingkatkan.
(15) Mereka tinggal jauh dari kota dari mana lingkungannya masih asri.
Bentuk-bentuk di mana, di depan mana, dari mana, yang mana, dan dari mana dalam bahasa Indonesia dipakai untuk menandai kalimat tanya. Bentuk di mana dan dari mana dipakai untuk menyatakan ‘tempat’, yaitu ‘tempat berada’ dan ‘tempat asal’, sedangkan yang mana untuk menyatakan pilihan. Jadi, kalimat (11-15) di atas seharusnya diubah menjadi:
(11a) Kantor tempat dia bekerja tidak jauh dari rumahnya.
(12a) Kita akan teringat peristiwa 56 tahun yang lalu yang waktu itu bangsa Indonesia
telah berikrar.
(13a) Rumah yang di depan kios kecil kemarin terbakar.
(14a) Sektor pariwisata yang merupakan tulang punggung perekonomian negara harus
senantiasa ditingkatkan.
(15a) Mereka tinggal jauh dari kota yang lingkungannya masih asri.
3. Kalimat Mengandung Makna Ganda
Agar kalimat tidak menimbulkan tafsir ganda, kalimat itu harus dibuat selengkap mungkin atau memanfaatkan tanda baca tertentu. Untuk lebih jelasnya perhatikan data berikut.
(16) Dari keterangan masyarakat daerah itu belum pernah diteliti.
(17) Lukisan Basuki Abdullah sangat terkenal.
Pada kalimat (16) di atas terdapat dua kemungkinan hal yang belum pernah diteliti yaitu masyarakat di daerah itu atau daerahnya. Agar konsep yang diungkapkan kalimat itu jelas, tanda koma harus digunakan sesuai dengan konsep yang dimaksudkan. Kalimat (16) tersebut dapat ditulis sebagai berikut.
(16a) Dari keterangan (yang diperoleh), masyarakat daerah itu belum pernah diteliti.
(16b) Dari keterangan masyarakat, daerah itu belum pernah diteliti.
Pada kalimat (17) terdapat tiga kemungkinan ide yang dikemukakan, yaitu yang sangat terkenal adalah lukisan karya Basuki Abdullah atau lukisan diri Basuki Abdullah atau lukisan milik Basuki Abdullah seperti yang terlihat data-data (17a), (17b), dan (17c) berikut.
(17a) Lukisan karya Basuki Abdullah sangat terkenal.
(17b) Lukisan diri Basuki Abdullah sangat terkenal.
(17c) Lukisan milik Basuki Abdullah sangat terkenal.
Pemakaian tanda hubung juga dapat digunakan untuk memperjelas ide-ide yang diungkapkan pada frase pemilikan. Untuk lebih jelasnya, perhatikan berikut.
(18) Ani baru saja membeli buku sejarah baru.
Kalimat (18) di atas mengandung ketaksaan yaitu yang baru itu buku sejarahnyakah atau sejarahnya yang baru. Untuk menghindari ketaksaan makna, digunakan tanda hubung agar konsep yang diungkapkan jelas sesuai dengan yang dimaksudkan. Kalimat (18a) yang baru adalah buku sejarahnya, sedangkan kalimat (18b) yang baru adalah sejarahnya.
(18a) AAni baru saja membeli buku-sejarah baru.
(18b) Ani baru saja membeli buku sejarah-baru.
4. Kalimat Bermakna Tidak Logis
Kalimat efektif harus dapat diterima oleh akal sehat atau bersifat logis. Kalimat
(19) berikut tergolong kalimat yang tidak logis.
(19) Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah selesailah makalah ini.
Kalau kita perhatikan secara sepintas kalimat (19) di atas tampaknya tidak salah. Akan tetapi, apabila diperhatikan lebih seksama ternyata tidak masuk akal. Seseorang untuk menyelesaikan sebuah makalah harus bekerja dulu dan tidak mungkin makalah itu akan dapat selesai hanya dengan membaca alhamdulillah. Jadi, supaya kalimat itu dapat diterima, kalimat itu dapat diubah menjadi:
(20a) Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah Yang Mahakuasa karena dengan izin-Nya jualah makalah ini dapat diselesaikan.
5. Kalimat Mengandung Pleonasme
Kalimat pleonasme adalah kalimat yang tidak ekonomis atau mubazir karena adaterdapat kata-kata yang sebetulnya tidak perlu digunakan. Menurut Badudu (1983:29) timbulnya gejala pleonasme disebabkan oleh (1) dua kata atau lebih yang sama maknanya dipakai sekaligus dalam suatu ungkapan, (2) dalam suatu ungkapan yang terdiri atas dua patah kata, kata kedua sebenarnya tidak diperlukan lagi sebab maknanya sudah terkandung dalam kata yang pertama, dan (3) bentuk kata yang dipakai mengandung makna yang sama dengan kata kata lain yang dipakai bersama-sama dalam ungkapan itu.
Contoh-contoh pemakaian bentuk mubazir dapat dilihat berikut ini.
(20) Firmarina meneliti tentang teka-teki bahasa Minangkabau.
(21) Banyak pemikiran-pemikiran yang dilontarkan dalam pertemuan tersebut.
(22) Pembangunan daripada waduk itu menjadi sisa-sia pada musim kemarau panjang ini.
(23) Air sumur yang digunakan penduduk tidak sehat untuk digunakan.
(24) Jika dapat ditemukan beberapa data lagi, maka gejala penyimpangan perilaku itu
dapat disimpulkan.
Pada kalimat (20) kata tentang (preposisi lainnya) yang terletak antara predikat dan objek tidak boleh digunakan karena objek harus berada langsung di belakang predikat. Pada kalimat (21) kata pemikiran tidak perlu diulang karena bentuk jamak sudah dinyatakan dengan menggunakan kata banyak. Atau dengan kata lain, kata banyak dapat juga dihilangkan. Pada kalimat (22) kata daripada tidak perlu digunakan karena antara unsur-unsur frase pemilikan tidak diperlukan preposisi. Pada kalimat (23) terdapat pengulangan keterangan ‘yang digunakan’. Pengulangan ini tidak perlu. Pada kalimat (24) terdapat dua buah konjungsi yaitu jika dan maka.Dengan adanya dua konjungsi ini, tidakdiketahui unsur mana sebagai induk kalimat dan unsur mana sebagai anak kalimat.
Dengan demikian kedua unsur itu merupakan anak kalimat. Jadi, kalimat (24) tidak mempunyai induk kalimat. Kalau begitu, satu konjungsi harus dihilangkan supaya satu dari dua unsur itu menjadi induk kalimat. Jadi, kalimat-kalimat (20-24) dapat diubah menjadi kalimat efektif sebagaimana terlihat pada data berikut.
(20a) Firmarina meneliti teka-teki bahasa Minangkabau.
(21a) Banyak pemikiran-pemikiran baru dilontarkan dalam pertemuan tersebut.
(21b) Pemikiran-pemikiran baru dilontarkan dalam pertemuan tersebut.
(22a) Pembangunan waduk itu menjadi sisa-sia pada musim kemarau panjang ini.
(23a) Air sungai yang digunakan penduduk tidak sehat.
(24a) Jika dapat ditemukan beberapa data lagi, gejala penyimpangan perilakuitu dapat disimpulkan.
Berikut ini akan dicontohkan kalimat pleonasme yang terdiri atas dua kata atau lebih yang mempunyai makna yang hampir sama.
(25) Kita harus bekerja keras agar supaya tugas ini dapat berhasil.
Kalimat (25) akan efektif jika diubah menjadi:
(25a) Kita harus bekerja keras supaya tugas ini dapat berhasil.
(25b) Kita harus bekerja keras agar tugas ini dapat berhasil.
6. Kalimat dengan Struktur Rancu
Kalimat rancu adalah kalimat yang kacau susunannya. Menurut Badudu (1983:21) timbulnya kalimat rancu disebabkan oleh (1) pemakai bahasa tidak mengusai benar struktur bahasa Indonesia yang baku, yang baik dan benar, (2) Pemakai bahasa tidak memiliki cita rasa bahasa yang baik sehingga tidak dapat merasakan kesalahan bahasa yang dibuatnya, (3) dapat juga kesalahan itu terjadi tidak dengan sengaja. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh berikut.
(26) Dalam masyarakat Minangkabau mengenal sistem matriakat.
(27) Mahasiswa dilarang tidak boleh memakai sandal kuliah.
(28) Dia selalu mengenyampingkan masalah itu.
Kalimat (26) di atas disebut kalimat rancu karena kalimat tersebut tidak mempunyai subjek. Kalimat (26) tersebut dapat diperbaiki menjadi kalimat aktif (26a) dan kalimat pasif (26b). Sementara itu, kalimat (27) terjadi kerancuan karena pemakaian kata dilarang dan tidak boleh disatukan pemakaiannya. Kedua kata tersebut sama maknanya. Jadi, kalimat (27) dapat diperbaiki menjadi kalimat (27a) dan (27b). Pada kalimat (28) kerancuan terjadi pada pembentukan kata dan kalimat tersebut dapat diperbaiki menjadi kalimat (28a).
(26a) Masyarakat Minangkabau mengenal sistem matriakat.
(26b) Dalam masyarakat Minangkabau dikenal sistem matriakat.
(27a) Mahasiswa dilarang memakai sandal kuliah.
(27b) Mahasiswa tidak boleh memakai sandal kuliah.
(28a) Dia selalu mengesampingkan masalah itu.
Di samping itu, juga terdapat bentukan kalimat yang tidak tersusun secara sejajar. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut.
(29) Program kerja ini sudah lama diusulkan, tetapi pimpinan belum menyetujui.
Ketidaksejajaran bentuk pada kalimat di atas disebabkan oleh penggunaan bentuk kata kerja pasif diusulkan yang dikontraskan dengan bentuk aktif menyetujui. Agar menjadi sejajar, bentuk pertama menggunakan bentuk pasif, hendaknya bagian kedua pun menggunakan bentuk pasif. Sebaliknya, jika yang pertama aktif, bagian kedua pun aktif. Dengan demikian, kalimat tersebut akan memiliki kesejajaran jika bentuk kata kerja diseragamkan menjadi seperti di bawah ini.
(29a)Program kerja ini sudah lama diusulkan, tetapi belum disetujui pimpinan.
(29b)Kami sudah lama mengusulkan program ini, tetapi pimpinan belum menyetujuinya.
Pola Kesalahan
Berikut ini akan disampaikan beberapa pola kesalahan yang umum terjadi dalam penulisan serta perbaikannya agar menjadi kalimat yang efektif.
1. Penggunaan dua kata yang sama artinya dalam sebuah kalimat :
- Sejak dari usia delapan tauh ia telah ditinggalkan ayahnya.
(Sejak usia delapan tahun ia telah ditinggalkan ayahnya.)
- Hal itu disebabkan karena perilakunya sendiri yang kurang menyenangkan.
(Hal itu disebabkan perilakunya sendiri yang kurang menyenangkan.
- Ayahku rajin bekerja agar supaya dapat mencukupi kebutuhan hidup.
(Ayahku rajin bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan hidup.)
- Pada era zaman modern ini teknologi berkembang sangat pesat.
(Pada zaman modern ini teknologi berkembang sangat pesat.)
- Berbuat baik kepada orang lain adalah merupakan tindakan terpuji.
(Berbuat baik kepada orang lain merupakan tindakan terpuji.)

2. Penggunaan kata berlebih yang ‘mengganggu’ struktur kalimat :
- Menurut berita yang saya dengar mengabarkan bahwa kurikulum akan segera diubah.
(Berita yang saya dengar mengabarkan bahwa kurikulum akan segera diubah. / Menurut berita yang saya dengar, kurikulum akan segera diubah.

- Kepada yang bersalah harus dijatuhi hukuman setimpal.
(Yang bersalah harus dijatuhi hukuman setimpal.)

3. Penggunaan imbuhan yang kacau :

- Yang meminjam buku di perpustakaan harap dikembalikan.
(Yang meminjam buku di perpustakaan harap mengembalikan. / Buku yang dipinjam dari perpustakaan harap dikembalikan)
- Ia diperingati oleh kepala sekolah agar tidak mengulangi perbuatannya.
(Ia diperingatkan oleh kepala sekolah agar tidak mengulangi perbuatannya.
- Operasi yang dijalankan Reagan memberi dampak buruk.
(Oparasi yang dijalani Reagan berdampak buruk)
- Dalam pelajaran BI mengajarkan juga teori apresiasi puisi.
(Dalam pelajaran BI diajarkan juga teori apresiasi puisi. / Pelajaran BI mengajarkan juga apresiasi puisi.)
4. Kalimat tak selesai :
- Manusia yang secara kodrati merupakan mahluk sosial yang selalu ingin berinteraksi.
(Manusia yang secara kodrati merupakan mahluk sosial, selalu ingin berinteraksi.)
- Rumah yang besar yang terbakar itu.
(Rumah yang besar itu terbakar.)
5. Penggunaan kata dengan struktur dan ejaan yang tidak baku :
- Kita harus bisa merubah kebiasaan yang buruk.
(Kita harus bisa mengubah kebiasaan yang buruk.)
Kata-kata lain yang sejenis dengan itu antara lain menyolok, menyuci, menyontoh, menyiptakan, menyintai, menyambuk, menyaplok, menyekik, menyampakkan, menyampuri, menyelupkan dan lain-lain, padahal seharusnya mencolok, mencuci, mencontoh, menciptakan, mencambuk, mencaplok, mencekik, mencampakkan, mencampuri, mencelupkan.

- Pertemuan itu berhasil menelorkan ide-ide cemerlang.
(Pertemuan itu telah menelurkan ide-ide cemerlang.)
- Gereja itu dilola oleh para rohaniawan secara professional.
(Gereja itu dikelola oleh para rohaniwan secara professional.)
- tau à tahu - negri à negeri
- kepilih à terpilih - faham à paham
- ketinggal à tertinggal - himbau à imbau
- gimana à bagaimana - silahkan à silakan
- jaman à zaman - antri à antre
- trampil à terampil - disyahkan à disahkan
6. Penggunaan tidak tepat kata ‘di mana’ dan ‘yang mana’ :
- Saya menyukainya di mana sifat-sifatnya sangat baik.
(Saya menyukainya karena sifat-sifatnya sangat baik.)
- Rumah sakit di mana orang-orang mencari kesembuhan harus selalu bersih.
(Rumah sakit tempat orang-orang mencari kesembuhan harus selalu bersih.)
- Manusia membutuhkan makanan yang mana makanan itu harus mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh.
(Manusia membutuhkan makanan yang mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh.)
7. Penggunaan kata ‘daripada’ yang tidak tepat :
- Seorang daripada pembatunya pulang ke kampung kemarin.
(Seorang di antara pembantunya pulang ke kampung kemarin.)
- Seorang pun tidak ada yang bisa menghindar daripada pengawasannya.
(Seorang pun tidak ada yang bisa menghindar dari pengawasannya.)
- Tendangan daripada Ricky Jakob berhasil mematahkan perlawanan musuh.
(Tendangan Ricky Jakob berhasil mematahkan perlawanan musuh.)
8. Pilihan kata yang tidak tepat :
- Dalam kunjungan itu Presiden Yudhoyono menyempatkan waktu untuk berbincang bincang dengan masyarakat.
(Dalam kunjungan itu Presiden Yudhoyono menyempatkan diri untuk berbincang-bincang dengan masyarakat.)
- Bukunya ada di saya.
(Bukunya ada pada saya.)
9. Kalimat ambigu yang dapat menimbulkan salah arti :
- Usul ini merupakan suatu perkembangan yang menggembirakan untuk memulai pembicaraan damai antara komunis dan pemerintah yang gagal.
Kalimat di atas dapat menimbulkan salah pengertian. Siapa/apa yang gagal? Pemerintahkah atau pembicaraan damai yang pernah dilakukan?
(Usul ini merupakan suatu perkembangan yang menggembirakan untuk memulai kembali pembicaraan damai yang gagal antara pihak komunis dan pihak pemerintah.
- Sopir Bus Santosa yang Masuk Jurang Melarikan Diri
Judul berita di atas dapat menimbulkan salah pengertian. Siapa/apa yang dimaksud Santosa? Nama sopir atau nama bus? Yang masuk jurang busnya atau sopirnya?
(Bus Santoso Masuk Jurang, Sopirnya Melarikan Diri)
10. Pengulangan kata yang tidak perlu :

- Dalam setahun ia berhasil menerbitkan 5 judul buku setahun.
(Dalam setahun ia berhasil menerbitkan 5 judul buku.)

- Film ini menceritakan perseteruan antara dua kelompok yang saling menjatuhkan, yaitu perseteruan antara kelompok Tang Peng Liang dan kelompok Khong Guan yang saling menjatuhkan.
(Film ini menceritakan perseteruan antara kelompok Tan Peng Liang dan kelompok Khong Guan yang saling menjatuhkan.)
11. Kata ‘kalau’ yang dipakai secara salah :

- Dokter itu mengatakan kalau penyakit AIDS sangat berbahaya.
(Dokter itu mengatakan bahwa penyakit AIDS sangat berbahaya.)
- Siapa yang dapat memastikan kalau kehidupan anak pasti lebih baik daripada orang tuanya?
(Siapa yang dapat memastikan bahwa kehidupan anak pasti lebih baik daripada orang tuanya?)

CONTOH-CONTOH KALIMAT EFEKTIF DAN TIDAK EFEKTIF

1. Bagi semua mahasiswa perguruan tinggi ini harus mebayar uang kuliah ( tidak efektif )
Seharusnya :Semua mahasiswa perguruan tinggi ini harus membayar uang kuliah.
2. Penyusunan laporan itu saya dibantu oleh para dosen ( tidak efektif )
Seharusnya :Dalam menyusun laporan itu, saya di bantu oleh para dosen.
3. Soal itu saya kurang jelas ( tidak efektif )
Seharusnya :Soal itu bagi saya kurang jelas.
4. Kami datang agak terlambat. Sehingga kami tidak dapat mengikuti acara pertama ( tidak efektif )
Seharusnya :Kami datang agak terlambat. Oleh karena itu, kami tidak dapat mengikuti acara
pertama.
5. Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu ( tidak efektif )
Seharusnya : Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu.
6. Sekolah kami yang terletak di depan bioskop Gunting ( tidak efektif )
Seharusnya : Sekolah kami terletak di depan bioskop Gunting.
7. Harga minyak dibekukan atau kenaikan secara luwes ( tidak efektif )
Seharusnya : Harga minyak dibekukan atau dinaikan secara luwes.
8. Karena ia tidak diundang , dia tidak datang ke tempat itu ( tidak efektif )
Seharusnya : Karena tidak diundang , dia tidak datang ke tempat itu.
9. Hadirin serentak berdiri setelah mereka mengetahui bahwa Presiden datang ( tidak efektif )
Seharusnya : hadirin serentak berdiri setelah mengetahui bahwa presiden datang.
10. Dia hanya membawa badannya saja ( tidak efektif )
Seharusnya : Dia hanya membawa badannya.
11. Sejak dari pagi dia bermenung ( tidak efektif )
Seharusnya : Sejak pagi dia bermenung.
12. Surat itu sudah saya baca ( tiak efektif )
Seharusnya : Surat itu sudah saya baca.
13. Saran yang di kemukakannya kami akan pertimbangkan ( tidak efektif )
Seharusnya : Saran yang dikemukakannya akan kami pertimbangkan.
14. Mereka membicarakan dari pada kehendak rakyat ( tidak efektif )
Seharusnya : Mereka membicarakan kehendak rakyat.
15. Pekerjaan itu dia tidak cocok ( tidak efektif )
Seharusnya : Pekerjaan itu bagi dia tidak cocok.
BAB III
PENUTUP

Kalimat efektif adalah kalimat yang dapat mengungkapkan gagasan pemakainya secara tepat dan dapat dipahami oleh pendengar/pembaca secara tepat pula. Akan tetapi, membuat kalimat efektif tidaklah gampang karena memerlukan keterampilan tersendiri. Kesalahan yang banyak ditemukan dapat dikelompokkan sebagai berikut, yaitu (1) ketidaklengkapan unsur kalimat, (2) kalimat dipengaruhi bahasa Inggris, (3) kalimat mengandung makna ganda, (4) kalimat bermakna tidak logis, (5) kalimat mengandung gejala pleonasme, dan (6) kalimat dengan struktur rancu.

Daftar Rujukan
Ali, Lukman dkk. 1991. Petunjuk Praktis Berbahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Badudu, J.S. 1983. Membina Bahasa Indonesia baku. Bandung: Pustaka Prima.
Badudu, J.S. 1991. Pelik-pelik Bahasa Indonesia .Bandung: Pustaka Prima.
Mustakim. 1994. Membina Kemampuan berbahasa: Panduan ke Arah Kemahiran Berbahasa. Jakarta:Gramedia pustaka Prima.
Ramlan, M. dkk. 1994. Bahasa Indonesia yang Salah dan Yang Benar. Yogyakarta: Andi Offset Yogyakarta.
Nazar, Noerzisri A. 1991. Bahasa indonesia Ragam Ilmiah dan Kumpulan Soal Ujian Bahasa Indonesia. Bandung.

Penggunaan Ekstrak Daun Katuk Terhadap Penampilan Organ Reproduksi Ayam Burgo Betina Untuk Perbaikan Kualitas Populasi
Oleh:
Yonky Saparingga
E1C006029

Abstrak
            Ayam burgo betina memiliki keunggulan dibanding ayam kampung, karena produksi telurnya cukup baik. Kelangkaan populasi ayam burgo dikarenakan kurangnya minat masyarakat dalam upaya domestikasi. Upaya untuk memperbaiki tingkat populasi dilakukan dengan cara meningkatkan produksi telur. Suplementasi ekstrak daun katuk 27gr dapat meningkatkan produksi telur karena daun katuk mengandung asam benzoate yang dapat dikonversikan menjadi estradiol benzoate yang befungsi untuk merangsang pertumbuhan folikel-folikel. Senyawa-senyawa lain seperti asam fenil malonat, 2-pyrilidion dan methyl pyroglutamate yang dapat berperan dalam peningkatan produksi. Ekstrak daun katuk juga mempengaruhi berat ovarium, berat telur, serta berat yolk dan albumen. Peningkatan produksi dan kualitas telur berpengaruh terhadap populasi ayam burgo.
Kata kunci: ayam bugo, ekstrak daun katuk, organ reproduksi unggas

Pendahuluan
Ayam burgo merupakan hasil persilangan antara ayam hutan merah (Galus-galus), dengan ayam kampung yang menghasilkan ayam hias yang bagus pada ayam jantan, sedangkan pada ayam betina mempunyai produksi yang lebih tinggi dari ayam kampung. Secara fenotif, ayam burgo memiliki ciri-ciri cuping telinga yang berwarna putih, tubuh lebih kesil dibanding ayam kampung tetapi lebih besar dari ayam hutan merah. Paruh ayam burgo jantan berwarna hitam dengan tinggi badan berkisar 10-15 cm dan panjang kaki 5-7 cm. beratnya berkisar antara 800-1250 gr. Ayam burgo betina paruhnya berwarna coklat kehitaman dengan tinggi badan berkisar antara 10-12 cm dan panjang kaki 4-6 cm. karakteristik tubuh ayam burgo betina lebih ringan dengan bobot berkisar 500-1250 gr (Setianto et al., 2009; Warnoto, 2002).
Sebagai salah satu fauna langka yang masih belum banyak digali informasinya, keberadaan jenis ayam lokal ini telah dideteksi oleh beberapa peneliti sebelumnya (Nurmeiliasari, 2003; Warnoto, 2000; setianto et al., 2009), dengan populasi terbesar diperkirakan berada si provinsi Bengkulu, kabupaten Rejang Lebong (nurmeiliasari, 2003; setianto et al., 2009). Ayam burgo dipropinsi Bengkulu hidup alami dihutan sebagai habitat in situ-nya pada kawasan seluas 58.881,3 Ha atau 36,14% dari luas kabupaten Rejang Lebong. Menurunnya angka kepadatan populai ayam burgo Bengkulu di kabupaten Rejang Lebong dalam waktu 5 tahun sebesar 0,33 ekor/km2 mengindikasikan adanya penurunan jumlah populasiayam burgo Bengkulu domestikasi (Putranto et al., unpublished). Pemeliharaan ayam burgo hanya dipelihara secara ekstensif atau sampingan (system backyard farming) dan lebih banyak diposisikan sebagai ayam hiasan (fancy) oleh kaum laki-laki (Fenita et al., 2002). Jika eksistensi ayam burgo in situ tidak diikuti upaya konservasi, dikhawatirkan populasinya akan terus menurun dan pada suatu saat plasma nutfah endemik Bengkulu ini dapat punah.
Ekstrak daun katuk sebagai suplemen
Daun katuk merupakan tanaman perdu dengan ketinggian antara 2-3,5 meter, tumbuh tersebar diseluruh asia Tenggara (Sutedja et al,. 1997). Menurut Santoso dan Sartini (2001)daun katuk tua mengandung air 10,8% , lemak 20,8%, protein kasar 15,0%, serat kasar 31,2%, abu 12,7% dan BETN 10,2%.
Penggunaan daun katuk pada ayam petelur dapat berfungsi meningkatkan produksi tellur, berat badan dan efisiensi produksi. Hasil penelitian Santoso (2005) menemukan bahwa pemberian ekstrak daun katuk ternyata lebih efektif dalam meningkatkan produksi telur. Santoso et al (2001) juga menemukan bahwa ekstrak daun katuk sangat efektif untuk meningkatkan efisiensi produksi, menurunkan akumulasi lemak, menurunkan bau amis dan meningkatkan rasa daging.
Ekstraksi daun katuk diperoleh dengan cara merebus daun katuk dengan air pada suhu 600C selama 30 menit. Perbandingan daun dan air adalah 1 : 6. Setelah itu disaring dan ampasnya direbus kembali. Ekstraksi diulang sebanyak 3 kali. Filtrat yang diperoleh kemudian dibuat seperti pasta pada suhu 500C selama kurang lebih 48 jam.
Dari penelitian Berry Gibson (2010), pemberian ekstrak daun katuk dapat digunakan sebanyak 27 gr/hari tidak berpengaruh negative terhadap ternak serta dapat meningkatkan produksi telur walaupun tidak signifikan. Salah satu senyawa yang diduga dapat berperan dalam peningkatan produksi adalah asam benzoate. Asam benzoate dalam tubuh dapat dikonversikan menjadi estradiol benzoate. Estradiol benzoate berperan untuk meningkatkan fungsi reproduksi dan merangsang pertumbuhan folikel (Santoso et al., 2003). Iptek 2007 menemukan bahwa vitamin C dan E dapat meningkatkan produksi telur. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Santoso et al. (2003) bahwa pemberian ekstrak daun katuk menghasilkan produksi yang lebih tinggi dan efisien.
Penelitian Gibson 2010, tentang produksi telur berdararkan pengaruh ekstrak daun katuk. Dimana P3 lebih unggul dengan 27 gr/ekor, P2 18 gr, P1 9gr dan P0 control.
                Grafik 1. Rataan produksi ayam bugo betina
Pemberian ekstrak daun katuk juga berpengaruh terhadap berat ovarium. Ovarium merupakan organ reproduksi yang sangat penting pada ternak betina. Sempurnanya ovarium dapat meningkatkan fungsi reproduksi dan merangsang pertumbuahan folikel sehingga ayam dapat menghasilkan ovum yang lebih banyak.
Tabel 1. Berat yolk (gr) dan albumen (gr)
Rataan berat yolk dan albumen pada ayam burgo betina juga terjadi adanya peningkatan berat jika dibandingkan dengan ayam burgo yang sama sekali tidak diberi suplementasi ekstrak daun katuk. Hal ini diduga karena daun katuk memiliki level energy ransum yang tinggi. Peningkatan level energy ransum juga meningkatkan berat kuning telur (Roland, 1980).
Suplementasi ekstrak daun katuk tidak berpengaruh terhadap tebal kerabang telur. Faktor yang mempengaruhi tebal kerabang telur yaitu sifat genetic, ransum, umur ayam, dan suhu lingkungan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Santoso (2008) bahwa pemberian ekstrak daun katuk tidak berpengaruh secara nyata terhadap tebal kerabang telur.
Kesimpulan
Pemberian ekstrak daun katuk sebanyak 27 gr memberikan pengaruh terhadap produksi telur, berat telur, berat yolk dan albumen, berat ovarium walaupun tidak signifikan. Didalam daun katuk terdapat asam benzoate yang dapat dikonversikan di dalam tubuh ayam menjadi estradiol benzoate yang berfungsi sebagai rangsangan dalam pertumbuhan folikel sehingga ayam dapat menghasilkan ovum lebih banyak. Banyaknya ovum berkaitan dengan banyaknya produksi telur.

Daftar Pustaka
Fenita, Y., Mega, O., Putranto, H.D.2002. Peningkatan Pemahaman Masyarakat Tentang Urgensi Domestikasi Dan Konservasi Ayam Burgo Bengkulu Sebagai Plasma Nutfahpropinsi Bengkulu Melalui Pembentukan Unit Produksi Percontohan Dikecamatan Curup Kabupaten Rejang Lebong. Laporan Pengapdian Pada Masyarakat Penerapan Ipteks. LPMM, Universitas Bengkulu, Bengkulu.
Nurmeiliasari. 2003. Populasi Dan Penyebaran Aya Burgo Bengkulu Serta Interaksinya Dengan Berbagai Faktor Ekologi (Studi Kasus Dikecamatan Curup Dan Kepahyang, Kabupaten Rejang Lebong,  Bengkulu), Jurnal Raflesia UMB vol:V (2): 52-55
Roland Sr., D. A. 1980. Egg Shell Quality I: Effect of Dietary Manipulation of Proteins, Amino Acids, Energy and Calsium in Aged Hens on Egg Weight, Shell Weight, Shell Quality and Egg Production. Poult. Scl. 59: 2038-2046
Santoso, U. dan Sartini. 2001. Reduction Of Fat Accumulation in Broiler Chickens by Sauropus Androgynus (katuk) Leaf Meal Suplementatiom. Asian_Australasian Journal of Animal Science 14 : 346-350
Santoso, U. 2008 Pengaruh Penambahan Ekstrak Daun katuk Terhadap Kualitas Telur dan Berat Organ Dalam. Penelitian Hibah Bersaing Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Dpartemen Pendidikan Nasional. Bengkulu
Santoso, U.2005. Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Katuk dalam ransumTerhadap Produksi, Kadar Nitrogen dan Fosfor, dan Jumlah Koloni Mikrobia Pada Feses Ayam Petelur. Jurnal PengembanganPeternakan Tropis, 30 (4): 237-241.
Santoso, U. E. Handayani and Suharyanto. 2001. Effects of Androgynus (katuk) Leaf Ekstrak on Growth, Fat Accumulation and Fecal Microorganisms in Broiler Chikens. JITV, 6 (4): 20-226.
Santoso, U., Setianto, J., Suteki, T. dan Fenita, Y. 2003. Penggunaan Ekstrak Daun Katuk Untuk Meningkatkan Efisiensi Produksi dan Kualitas Telur Yang Ramah Lingkungan Pada Ayam Leghorn. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Lanjutan. Lembaga Penelitian Universitas Bengkulu. Bengkulu.
Sutedja, L., L. B. S. Kartono dan H. agustina. 1997. Sifat Anti Protozoa Daun Katuk (Sauropus androgynus Merr). Warta Tumbuhan Obat 3 (3) : 47-48.
Setianto J, Warnoto, And Nurmeiliasari. 2009. The Phenotypic Characteristic, Population, Population And The Ecological Factors Of Bengkulu’s Burgo Chicken. Proceeding Of International Seminar, Bukit Tinggi 28-29 June 2009:13-14.
Warnoto, 2000. Identifikasi, Fenotif, Populasi, Habitat Penyebaran Dan Potensi Pengembangan Ayam Burgo. Laporan Penelitian Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu, Bengkulu

/PENGARUH INFESTASI Haemonchus contortus PADA SISTEM CO-GRAZING KAMBING-DOMBA DENGAN ANIMAL UNIT EQUIVALENT (AUE) YANG BERBEDA DI AREAL PERKEBUNAN SAWIT TERHADAP PARAMETER KESEHATAN


Oleh :
TEGUH YOGASWARA


Abstrak
Ternak ruminansia kecil (domba dan kambing) memiliki kontribusi yang sangat besar pada petani  peternak di pedesaan. Kendala  pengembangan  ternak kambing dan domba adalah ketidak tersedianya lahan sebagai sumber pakan dan penyakit parasit gastro intestinal. Pemeliharaan ternak dengan sistem grazing di areal  perkebunan sawit merupakan salah satu alternatif untuk mencukupi pakan ternak. Namun demikian ternak yang grazing menjadi lebih mudah terserang  penyakit gastro intestinal terutama Hemonchus contortus. Haemonchus contortus dapat menyebabkan penurunan produksi bahkan kematian. Co-grazing yang didefinisikan sebagai grazing yang melibatkan dua jenis ternak pada lahan dan waktu yang sama dapat menurunkan tingkat infestasi Haemonchus contortus. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh infestasi Haemonchus contortus pada sistem Co-grazing kambing-domba dengan AUE yang berbeda di areal perkebunan sawit terhadap parameter kesehatan. Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok lengkap (berdasarkan berat badan) pola faktorial 2 x 2. Faktor pertama adanya infestasi (infestasi dan tidak  infestasi) dan faktor kedua adalah AUE (1 AUE dan 0,75AUE). Penelitian ini menggunakan 12 ekor kambing dan 12 ekor domba berumur 5-6 bulan terdiri dari 4 perlakuan. Semua ternak grazing dari pukul 08.00-16.00 WIB, ternak perlakuan dimasukkan pada paddock kemudian pindah ke paddock lainnya setiap minggu, selama 8 minggu penelitian. Variabel yang diamati adalah Packet Cell Volume (PCV), hemoglobin, Fecal Egg Count (FEC) dan kondisi fisiologis ternak. Sampel darah dikoleksi setiap dua minggu, darah dimasukkan ke dalam tabung vacutainer yang mengandung EDTA untuk menentukan persentase PCV dan kadar Hb. PCV ditentukan menggunakan metode Microhaematokrit, dan kadar Hb dengan metode Sahli. Sampel feses dikoleksi langsung dari rektum dan di proses untuk estimasi FEC (metode modifikasi MC Master), parameter fisiologis diukur setiap seminggu sekali.

PENDAHULUAN

 Latar Belakang

Ternak ruminansia kecil seperti kambing dan domba mempunyai keuntungan bagi kesejahteraan peternak jika dikaitkan ti tiga aspek keuntungan yaitu ekonomi, manajemen tata kelola, dan biologis (Devendra and Burns, 1983). Menurut Riaz (2007), ternak kambing dan domba merupakan sumber ekonomi yang vital dan sekaligus dapat sebagai ecological and biological nice pada sistem pertanian di negara berkembang. Dengan kata lain beternak kambing dan domba dapat memberikan sumbangan nyata bagi  pembangunan sub-sektor peternakan karena langsung menyentuh masyarakat kecil dengan kemampuan modal yang terbatas. Kendala pengembangan kambing/domba adalah tidak tersedianya lahan sebagai sumber pakan dan penyakit ternak. Permasalahan pakan dapat disiasati dengan sistem integrasi ternak dengan perkebunan sawit, pastura alami di perkebunan sawit merupakan sumber pakan potensial bagi ternak ruminansia (Dwatmadji et al., 2005).
Sistem integrasi ternak merupakan salah satu alternatif keterbatasan lahan untuk grazing di Indonesia. Sistem integrasi ternak di perkebunan sebagai area grazing dapat meningkatkan ekonomi petani, kesehatan dan diversitas lingkungan (Coffey et al., 2004), sebagai weeding control, meningkatkan kesuburan tanah dan produksi perkebunan per hektar (Chee and Faiz, 1990). Namun demikian, dalam penerapan integrasi sawit ternak harus dievaluasi kapasitas tampung (carrying capacity) ternak. Diketahui 57% lahan perkebunan sawit di Bengkulu dimiliki oleh rakyat dengan luas lahan berkisar antara 0,5-2 ha atau rata-rata 0,89 ha (Anonimous, 2007). Oleh karena itu hanya ternak ruminansia kecil kambing atau domba yang paling cocok untuk diintroduksikan di perkebunan sawit skala petani.

4.1 Packet Cell Volume (PCV)

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa infestasi dan spesies secara sendiri-sendiri berpengaruh nyata (P<0,01) terhadap PCV. Dapat dilihat pada Tabel 1 ternak kambing  (1 AUE) yang terinfestasi memiliki rataan PCV terendah sebesar 22,1% dan ternak domba (0,75 AUE) yang tidak terinfestasi memiliki rataan PCV tertinggi sebesar 26,8%. Pada Tabel 1 juga terlihat bahwa tidak terdapat interaksi  antara infestasi dengan AUE, infestasi dengan spesies, AUE dengan spesies dan antara ketiganya.
Tabel 1 memperlihatkan bahwa PCV ternak kambing pada minggu awal sebelum ternak mendapat perlakuan berkisar antara 28-29%, kisaran PCV normal ternak kambing sebesar 22-28% (Schoenian, 2010) atau 22-38% (Bernard et al., 2009). Tabel 1 juga memperlihatkan ternak kambing yang terinfestasi mengalami penurunan persentase PCV hampir 50%  pada minggu ke-6 dari rataan 28,5+0,36% dan 28,6+1,45% menjadi 18,0+5,58% dan 14,3+0,40%. Penurunan PCV pada penelitian ini lebih besar dari penelitian Soekarya (2009), yang melaporkan kambing yang terinfestasi Hemonchus contortus mengalami penurunan PCV sebesar 27% sedangkan Shaik et al. (2006), melaporkan kambing yang terinfestasi Haemonchus contortus mengalami penurunan PCV sebesar 33,3%. Haemonchus contortus dapat menghisap darah sampai 0,05 ml per ekor per hari (Soulsby, 1982); pada infestasi berat, 1/10 volume darah ternak dapat berkurang. Sedangkan menurut Whittier et al. (2003), cacing Haemonchus contortus mampu menghisap darah per harinya sebanyak 0,094 ml. Colin (1999) dan Whittier et al (2003), melaporkan infestasi hiperakut akibat Haemonchus contortus  dapat berdampak pada kematian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada minggu ke-6, ke-7 dan ke-8 terjadi kematian pada ternak kambing terinfestasi masing-masing 1 ekor.

4.2 Hemoglobin

Rataan hemoglobin ternak kambing dan domba selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Pada Tabel 2 terlihat bahwa hasil analisis ragam menunjukkan infestasi dan spesies secara sendiri-sendiri berpengaruh nyata (P<0,01) terhadap hemoglobin. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa ternak domba  (0,75 AUE) yang tidak terinfestasi memiliki rataan hemoglobin tertinggi sebesar 9,2 g/dl  dan ternak kambing (0,75 AUE) yang terinfestasi memiliki rataan hemoglobin terendah sebesar 6,7 g/dl. hemoglobin ternak kambing dan domba pada minggu awal (sebelum ternak  memasuki paddock) berkisar antara 9,8-11 g/dl. Frandson (1996), mengemukakan hemoglobin normal ternak kambing dan domba adalah 11 g/dl dengan demikian hemoglobin semua ternak sebelum perlakuan masih dalam keadaan normal. Namun pada minggu berikutnya hingga penelitian berakhir terjadi penurunan hemoglobin. Penurunan yang sangat drastis terjadi pada ternak kambing yang terinfestasi baik pada luasan 1 AUE dan 0,75 AUE dengan rataan hemoglobin sebesar 5,2+0,47 g/dl dan 4,7+0,14 g/dl (minggu ke-6). Rasool et al. (1995) dan Hayat et al. (1996), melaporkan bahwa kambing dan domba yang terinfestasi cacing Haemonchus contortus ditandai oleh penurunan hemoglobin.
Hasil penelitian Chaudary et al. (2007), yang melaporkan bahwa kisaran hemoglobin ternak domba yang terinfestasi Haemonchus contortus sebesar 4,90+0,24 – 9,53+0,21 g/dl dan kambing 7,22+0,1 – 11,43+0,1 g/dl; Olayemi (2000), melaporkan ternak domba  yang grazing di padang pastura yang terinfestasi Haemonchus contortus memiliki hemoglobin 6,19+1,70 g/dl dan Mir et al. (2007), yang melaporkan bahwa hemoglobin domba yang terinfestasi Haemonchus contortus 11,6+1,6 g/dl.

4.3 Faecal Egg Count (FEC)

Tingkat infestasi tinggi ditemukan pada ternak kambing terinfestasi dengan luasan 1 AUE yaitu 564 telur per gram tinja. Tingkat infestasi pada ternak kambing pada luasan lahan 0,75 AUE adalah sedang (373 telur per gram tinja). Pada ternak kambing terjadi kematian ternak pada minggu ke-6. Sedangkan tingkat infestasi ternak domba pada luasan lahan 0,75 dan 1 AUE adalah sedang (410 dan 290 telur per gram tinja). Berbeda dengan ternak kambing, pada ternak domba yang terinfestasi walaupun memiliki FEC besar (domba 0,75 AUE) tidak menyebabkan kematian ternak. Brightling (1988), mengemukakan tingkat infestasi cacing Haemonchus contortus ada empat tingkatan yaitu : rendah (200 telur per gram tinja), sedang (>200-500 telur per gram tinja), tinggi (>500-2000 telur per gram tinja) dan sangat tinggi (>2000 telur per gram tinja). 

4.4 Respirasi

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa infestasi, AUE, dan spesies secara sendiri-sendiri tidak berbeda  nyata (P>0,05) terhadap respirasi. Pada Tabel 4 juga terlihat bahwa tidak terdapat interaksi  antara infestasi dengan AUE, infestasi dengan spesies, AUE dengan spesies dan antara ketiganya.
Tabel 4 memperlihatkan respirasi ternak baik kambing ataupun domba yang terinfestasi cacing Haemonchus contortus lebih rendah dari pada ternak kambing atau domba kontrol (tidak terinfestasi cacing Haemonchus contortus). Rataan respirasi ternak domba terinfestasi cacing Haemonchus contortus berkisar antara 38,3+21,80 – 46,4+14,40 kali per menit sedangkan rataan respirasi ternak domba yang tidak terinfestasi cacing Haemonchus contortus berkisar antara 46,1+19,42 – 49,0+10,22 kali per menit. Menurut Barkley (2009), kisaran normal respirasi domba adalah 16-34 kali per menit sedangkan menurut Smith (1988) disitasi Feylana (2008), respirasi ternak domba normal 26-54 kali per menit, ini menunjukkan bahwa respirasi domba masih normal.
Rataan respirasi ternak kambing yang terinfestasi cacing Haemonchus contortus berkisar antara 29,2+9,34 – 34,4+15,08 kali per menit sedangkan rataan respirasi ternak kambing yang tidak terinfestasi cacing Haemonchus contortus berkisar antara 36,9+11,15 – 41,7+17,71 kali per menit. Menurut Smith (1988) disitasi Feylana (2008), kisaran normal respirasi kambing adalah 26-54 kali per menit sedangkan menurut Schoenian (2010), respirasi ternak kambing normal 15-30 kali per menit. Kisaran respirasi pada ternak kambing yang terinfestasi cacing Haemonchus contortus dan tidak terinfestasi Haemonchus contortus masih dalam batas normal, namun pada ternak kambing yang terinfestasi cacing Haemonchus contortus memiliki kisaran respirasi yang lebih rendah dari ternak kambing yang tidak terinfestasi Haemonchus contortus. Ini diduga disebabkan karena ternak yang terinfestasi cacing Haemonchus contortus tidak banyak melakukan aktifitas. Salah satu faktor yang mempengaruhi respirasi adalah aktifitas (Wasio, 1994 disitasi Akhmad, 2010 ).
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa infestasi, AUE, dan spesies secara sendiri-sendiri tidak berbeda  nyata (P>0,05) terhadap denyut jantung. Pada Tabel 5 juga terlihat bahwa tidak terdapat interaksi  antara infestasi dengan AUE, infestasi dengan spesies, AUE dengan spesies dan antara ketiganya.
Tabel 5 memperlihatkan bahwa rataan denyut jantung ternak kambing atau domba yang diberi perlakuan terinfestasi cacing Haemonchus contortus memiliki rataan denyut jantung yang sama dengan ternak kambing atau domba yang diberi perlakuan tidak terinfestasi cacing Haemonchus contortus. Kisaran rataan denyut jantung pada ternak kambing sebesar 93,7+18,88- 116,5+21,94 kali per menit. Sedangkan kisaran rataan denyut jantung pada ternak domba sebesar 96,7+13,43 – 106,7+17,25 kali per menit. Kisaran normal denyut jantung pada kambing  dan  domba adalah 70 sampai 80 kali per menit (Barkley, 2009; Ditsch and Andries, 2007 dan Schoenian, 2010), sedangkan menurut Smith (1988) disitasi Feylana (2008) adalah 70-135 kali per menit. Hasil penelitian denyut jantung yang diperoleh masih dalam batas normal. Ganong (1981) disitasi oleh Feylana (2008), menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi denyut jantung adalah temperartur lingkungan, pakan, aktifitas latihan otot, dan tidur.

4.6 Temperatur Rektal

Rataan temperatur rektal ternak kambing dan domba selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 6. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa infestasi, AUE, dan spesies secara sendiri-sendiri tidak berbeda  nyata (P>0,05) terhadap termperatur rektal. Pada Tabel 6 juga terlihat bahwa tidak terdapat interaksi  antara infestasi dengan AUE, infestasi dengan spesies, AUE dengan spesies dan antara ketiganya. temperatur rektal yang sama dengan ternak kambing atau domba yang tidak terinfestasi cacing Haemonchus contortus, yaitu berkisar antara 38,50+0,52°C sampai dengan 38,96+0,39°C. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan temperatur rektal pada ternak kambing dan domba pada kondisi normal yaitu 39°C (Barkley, 2009). Temperatur rektal pada ternak dipengaruhi beberapa faktor yaitu temperatur lingkungan, aktifitas, pakan, minuman, dan produksi panas oleh tubuh, yang tidak langsung tergantung pada pakan yang diperolehnya dan banyaknya persediaan makanan dalam saluran pencernaan (Duke’s, 1995 disitasi oleh Feylana 2008).



Ucapan Terima Kasih
Saya mengucapkan terimakasih kepada orang yang melakukan penelitian ini, karena penelitian ini bisa memotifasi saya sehingga saya membuatnya dalam bentuk karya ilmiah.


DAFTAR PUSTAKA


Abaye, A.O., V.G. Allen, and J.P. Fontenot. 1995. Influence of Grazing Cattle and Sheep Together and Separately on Animal Performance and Forage Quality. Journal Animal Science. 72: 1013-1022.

Akhmad. 2010. Ternak Potong Kerja dan Kesayangan. http://multiply.com/user/join?connet=anakkandang  (21 April 2010)

Allen, V.G. and M. Collins. 2003. Grazing Manajemen Systems. Forages: an Introduction to Glassland Agriculture. In: R.F. Barnes, C. J. Nelson, M. Collins, and K. J. Moore. (eds). 6 th ed., p. 473-501. Iowa State Press, Ames.

Animut, G. and A.L. Goetsh. 2008. Co-grazing of Sheep and Goats; Benefit and Constrains Small Ruminant Research 77: 127-145.

Anonimous. 2007. Tentang Pembaruan Agrarian dan Pembangunan Pedesaan. http://www.spi.or.id/?=149 (23 November 2009).

Anonimous. 2009. Penetapan Nilai Hematokrit. http://www.slideshare.net/.../ Penetapan-Nilai-Hematokrit (2 Mei 2010)

Baker, R.L. 1998. Genetic Resistance to Endoparasitism in Sheep and Goats. A Review of Genetic Resistance to Gastrointestinal Nematode Parasities in Sheep and Goats in the Tropics and Evidence for Resistance in Some Sheep and Goat Breed in Sub-Humid Coastal Kenya. Animal Genetic Resources Information, 24: 13-30.

Barkley, M. 2009. The Normal Animal. Penn State Cooperative Extention  Bedford Country.http://www.bedford.extension.psu.edu/agriculture/.../Normal%20Goat.htm (5 April 2010)

Bekele, T., Woldeab T., Lahlou-Kassi A. and J. Sherington. 1992. Factor Affecting Morbidity and Mortality on-Farm an on Station in the Ethiopian Highland Sheep. Acta Tropica 52: 99-109.

Bennett, D., F.H.W. Morley, K.W. Clarke, and M.L. Dudzinski. 1970. The Effect of Grazing Cattle and Sheep Together. Australia Journal Experimental. 10: 696-702.

Beriajaya, S.E., Estuningsih, Darmono, M.R. Knox, D.R. Stoltz and A.J. Wilson. 1995. The Use of Wormolas in Controlling Gastrointestinal Nematode Infection in Sheep Under Traditional Grazing Management in Indonesia. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 1 (1): 49-55.

Bernard, G., M.M. Worku and M. Ahmedna. 2009. The Effect of Diatomaceous Earth on Parasite Infected Goats. Bulletin of The Georgian National Academy of Sciences 3:26-30

Blakely, J dan D.H. Bade. 1994. Ilmu Peternakan. Edisi Keempat. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Bouix, J., J. Krupinski, R. Rzepecki, B. Nowosad, I. Skrzyala, M. Roborzynski, W. Fudalewicz-NieMczyk, M. Skalska, A. Malczewski, and L. Gruner. 1998. 55 Genetic Resistance to Gastrointestinal Nematode Paraites in Polish Long-Wool Sheep. International Journal for Parasitology 28: 1797-1804.

Browning, M.L. 2006. Haemonchus contortus (Barber Pole Worm) Infestation in Goats. Extension Animal Scientist, Alabama A&M University. http:// www.aces.edu/pubs/docs/U/UNP.../UNP-0078.pdf - Amerika Serikat   ( 15 April 2010)

Burke, J.M. and J.E. Miller. 2004. Control of Haemonchus contortus in Goats with a Sustained-Release Multi-Trace Element/Vitamin Ruminal Bolus Containing Copper. Veterinary Parasitology 141 (2006) 132-137.

Chaudary, F.R., M.F. Khan and M. Qayum. 2007. Prevalence of Haemoncus contortus in Naturally Infected Small Ruminant Grazing in The Potohar Area of Pakistan. Pakistan Journal Veteriner. 27 (2) : 73-79.

Chee Y.K. and A. Faiz. 1990. Forage Resources in Malaysia Rubber Estates. In: Forages For Plantation Crops. HM Shelton and WW Stur (eds), pp. 32-35. Proceedings of A Workshop, Sanur Beach, Bali, Indonesia. 27-29 June 1990. ACIAR Proceedings no. 32.

Coffey L., M. Hale and A. Wells. 2004. Goats: Sustainable Production Overview. Livestock Production Guide. hhtp://attar.ncat.org/attar-pub/goatoverview. (3 Februari 2010)

Colin, J. 1999. Parasites and Parasitic Disease of Domestic Animals. University of Pensylvania. http:// www.runetwork.de/html/en/articles/document.html?Action...id=11605  (28 Juni 2010)

Devendra, C and M. Burns. 1983. Goat and Sheep Produktion in The Tropics. Longman Group Limited, London.

Ditsch, D. and K. Andries. 2007. Goat Production Basics in Kentucky. Cooperative Extension Service. University of Kentucky-College of Agriculture.http://www.org./goat-production-kentucy/html (6 Maret 2010)

Duke’s. 1985. Physiology of Domestic Animal Comstock Publishing : New York University Collage, Camel.

Dwatmadji, T. Suteky dan E. Soetrisno. 2005. Multi Peran Sapi Bali Pada System Agro-Farming Kelapa Sawit (Elaeis quineensis). Laporan Hasil Penelitian Hibah Bersaing.

Ensminger, M.E. 2002. Sheep and Goat Science (Animal Agriculture Series).6 th Edition. Interstate Publishers, Inc., Danville, Illinois.

Feylana. 2008. Status Faali. http://www.feylana.wordpress.com/ (3 Juni 2010)

Frandson, R.D. 1996. Anatomi dan Fisiologis Ternak, Ed ke-4. Diterjemahkan oleh Ir. B. Srigandono, MSc dan Drs. Koen Praseno, S.U. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Fritsche, T., Kaufmann and K. Pfister. 1993. Parasite Spectrum and Seasonal Epidemiology of Gastrointestinal Nematodes of Small Ruminants in Gambia. Veterinary Parasitology. 49: 271-283.
Ganong. 1981. Receive of Legical Physiology.Large Medical Publishing,Calivornia.
Hayat, C.S., S.M. Hussain, Z. Iqbal, B. Hayat and M. Akhtar, (1996): Effect of Parasitic Nematodes on Haematology and Productivity of Sheep. Pakistan Veterinary Journal. 16: 81-83.

Hepworth, K., M. Neary, T. Hutchens. 2006. Managing Internal Parasitism in Sheep and Goat. Animal Sciences. University of Kentucky, AS. http://www.extension.org/mediawiki/.../KY_Production_Basics.pdf - Amerika Serikat   (24 Maret 2010)

Iqbal M., M. Lateef, M.N. Khan, G. Muhammad and A. Jabbar. 2005. Temporal Density of Trichostrongylid Larvae on  a Communal Lahan in a Sub-Tropical Region of Pakistan. Pakistan Veterinary Journal. 25: 2

Jacquiet, P., F. Cabaret, M. Colas, L. Dia, D. Cheikh and A. Thiam. 1992. Helminthes of Sheep and Goat in Desert Areas of Southwest Mauritania (Trarza). Veterinary. Commun. 16: 437-444.

Jaya, A. 2008. Pengaruh Pemberian Minyak Ikan Lemuru (Sardinella longiceps) 6% dan Niasin 800 ppm Terhadap Kolesterol, LDL (Low Density Lipoprotein), HDL (High Density Lipoprotein) Serum Darah Kambing dan Domba. Skripsi Jurusan Peternakan. Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Bengkulu.

Jones, K. G. 2004. Trends in the U. S. Sheep Indusry. AIB-787. Econ. Res. Serv. USDA. 13.http://www.ideas.repec.org/p/ags/uersab/33681.html (19 Juni 2010)


Kaplan, R.  M. 2006. Update on Parasite Control in Small Ruminant Addressing The Challenges Posed by Multiple-Drug Resistant Worms. Proceeding of The American Association of Bovine Practitioners, Saint Paul, MN, September 21-23, 2006.

Liemachmad. 2009. Proses Analisis Kesehatan. http://liemachmad.wordpress.com/- (24 Oktober 2010)

Nowosat, B., L. Gruner, M. Skalska, W. Fudalewicz-NieMczyk, K. Moelenda and S. Kornas. 2003. Genetic Difference in Natural Resistance to Gastrointestinal Nematodes in Polish Long-Wool, Blackface and Wiesses Alpenschaf Sheep. Acta Parasitological 48: 131-134.

Novalina. 2009. Mineral Mikro. http://www.novalinahasugian.blogspot.com/ ( 7 November 2010)

MAFF [Ministry of Agriculture Ficheries and Food]. 1986. Manual of Veterinari Parasitology Laboratory Techniques. 3rd ed. Ministry of Agriculture Ficheries and Food – UK. HerMajesty’s Stationary offi ce London.

Marley, C. L., M.D. Fraser, D. A. Davies, M.E. Rees, J.E. Vale and A.B. Forbes. 2006. The Effect of Mixed or Sequential Grazing of Cattle and Sheep on Faecal Egg Count and Growth Rates of Weaned Lambs When Treated with Anthelmintics. Veterinary. Parasitology. 142:134-141.

Medicastore. 2010. Biologi Darah. http://www. id.shvoong.com/.../1998456-biologi-darah -sumber-dan/ (4 Agustus 2010)

Miller, J.E and D.W. Horohov. 2006. Immunological Aspects of Nematodes Parasite Control in Sheep. Journal Animal Science. 84: E128-E132.

Mir, R.A., M.Z. Chishti, M.A. Zarger, Hidayatullah Tak and S.A. Gani. 2007. Clinicopathological Changes in Sheep Experimentally Infected with Haemonchus contortus. World Journal of Agricultural Sciences 3 (5) : 562-566.

Moore, D.A., T.H.Terril, B. Kouakou, S.A. Shaik, J.A. Mojidis, J.E. Miller, M. Vanguru, G. Kannan and J.M. Burke. 2008. The Effect of Feeding Sericea Lespedeza Hay on Growth Rate of Goats Naturally Infected With Gastroitestinal Nematodes. Journal Animal Science. 86: 2328-2337.

Olayemi, F.O., Farotimi J.O. and O.A. Fagbohun. 2000. Haematologi of The West African Dwarf Sheep Under Two Different Management Systems in Nigeria. Africa. Journal. Biomed 3; 197-198.

Papachristou, F.A.E. Papadopoulos, N. Panousis, N. Roubis, H. Karatzias, S.C. Kyriakis, J. Oskovski and Y. Theodoridis. 2008. Evaluation of Control Schemes Using Protein Suplementation and Antihelmitics Against Gastrointestinal Nematodes of Dairy Ewes. Acta Veterinaria. 58 (4): 333-334.

Rachmat, R.A., B.D. Ranf, dan M.Z. Kanro. 1998. Kontribusi Getah Papaya dalam Pengendalian Penyakit Cacing pada Kambing. Prosiding Seminar Holtikultura. Kerjasama Dengan Instalasi Penelitian dan Pengkajian Pertanian Jeneponto, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kendari. Hlm. 432-434.

Rasool, G., Z. Iqbal, M. Nisar Khan and B. Hayat. 1995. Haematological Disturbance Associated with Haemonchosis in Sheep. Pakistan Veterinary Journal. 15(4): 159-162.

Riaz, F.C.H. 2007. Study on The Biology of Haemoncus Contortus, in The Small Ruminants Grazing in Potohar Region, Pakistan. Thesis. Department of Zoology/University of Arid Agriculture Rawalpindi, Rawalpindi.

Schoenian, S. 2010. Integrated Parasite Management in Small Ruminants. http:// www.pasafarming.org/our.../opportunities-for-improvement -  ( 6 Maret 2010)

Shaik, S.A, T.H. Terrill, J.E. Miller and J.A. Mosjidis. 2006. Sericea lespedeza hay as a natural deworming agent against gastrointestinal nematode infection in goats. Veterinary parasitologi 139: 150-157.

Soekarya, S. 2009. The effects of Cassava Foliage (Manihot esculenta) on Gastro Intestinal Parasites of Small Ruminant in Cambodia. Disertation. Swedish University of Agricultural Scienses, Swedia.

Soulsby, E.J.L. 1982. Helminths, Protozoa and Antropods of Domesticated Animal. 7 th. Edition. Bailliere Tindall, London.

Steel, R.G.D., dan J.H. Torrie. 1989. Prosedur dan Prinsip-prinsip Statistik. PT. Gramedia. Jakarta.

Sugeng, B.Y. 1991. Beternak Domba. Penebar Swadaya. Jakarta.

Webb, D.M. 2008. Assessing The Potential of Mixed Grazing Goats With Beef Cattle to Improve Animal Performance and Increase The Utilization or Marginal Lahanlands in The Applachian Coal Region. Thesis. Master of Science in Crop and Soil Environmental Science. Blacksburg, Virginia.

Whittier, W.D., A. M. Zajac, and S.M. Umberger. 2003. Control of Internal Parasities in Sheep. Blackburg, VA, Virginia Tech.

Williamson, G., and W.J.A. Payne.1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Edisi ketiga. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.

Wodzicka-Tomaszewska M., I.M. Mastika, A. Djajanegara, S. Gardiner dan T.R. Wiradarya. 1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Sebelas Maret University Press, Surakarta.